KUPANG, POS
KUPANG.Com--Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan pertambangan di
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini masih tumpang-tindih.
Kepentingan
pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari hasil tambang selalu
mengabaikan perlindungan dan pemanfaatan hutan yang benar.
Demikian salah satu pendapat yang muncul dalam diskusi terbatas yang digelar Studio Driya Media (SDM) Kupang, NGO Samanta dan Forum Dareah Aliran Sungai (ForDAS) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Regna Cafe's di Jalan El Tari 2-Kupang, Selasa (6/10/2009).
Para pembicara utama
dalam diskusi ini adalah Paskalis Nai dari SDM Kupang, Mikael Riwu Kaho dari
ForDAS NTT, Pejabat dari Badan Pengelola DAS Benai-Noelmina, Saimin, salah sati
pejabat dari Dinas Kehutanan NTT, Marthen Fabisanga dan Redaktur Pelaksana SKH
Pos Kupang, Damianus Ola.
Kegiatan ini juga
dihadiri oleh peserta dari kalangan pers, LSM pegiat lingkungan dan unsur Dinas
Kehutanan Kabupaten Kupang. Acara ini dipandu Allo Tao dari Samanta.
Marthen Fabisanga
dari Dinas Kehutanan Propinsi NTT menjelaskan, pemerintah melalui Permenhut No
43 Tahun 2008 tentang pedoman pengelolaan kawasan hutan sudah tegas mengatur
bahwa izin pertambangan di atas lahan dalam kawasan hutan produksi bisa
diberikan, namun izin di atas kawasan hutan lindung tidak bisa diberikan.
Ia mencontohkan
tambang marmer di TTU yang berada di kawasan hutan produksi. Demikian juga
kawasan tambang lainnya yang ada di NTT.
Meski demikian, ada
tahap-tahap yang harus melalui proses untuk perizinan. Permasalahan kawasan
tambang dalam kawasan hutan di NTT adalah adanya desakan-desakan dari pihak
lain untuk percepatan perizinan, padahal proses perizinan tersebut harus
melalui pengkajian.
Salah satu pejabat
Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang, Kris Hale Berek pada kesempatan itu juga
mengakui sulitnya aparat di Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang dalam menjaga
kawasan hutan. Menurutnya, saat ini ada sekitar 50 izin pertambangan mangan
yang dimiliki mayarakat, namun wilayah pertambangan berada dalam kawasan hutan.
"Dari 50 itu,
hanya satu perusahaan asal Korea yang kooperatif dan belum beroperasi sampai
menunggu hasil Amdal. Sementara lainnya belum koordinasi. Saat ini kita sedang
menertibkan itu," jelasnya.
Masalah lain adalah
adanya oknum-oknum aparat yang mengaku mengantongi izin pertambangan.
Padahal tambang yang
dimaksud berada di kawasan hutan. Kondisi ini memyebabkan petugas Dinas
Kehutanan Kabupaten Kupang kerap berselisih paham dengan aparat negara lainnya
yang sedang mengusahakan tambang.
"Pernah kita
tahan truk yang membawa mangan di Amabi Oefeto, tapi dijawab, 'Ah, Anda tahan
nanti lapornya ke saya juga. Jadi kita serba sulit," jelasnya.
Paul SinlaEloE dari
PIAR pada kesempatan itu mengatakan upaya perlindungan hutan di NTT selalu
kalah dengan dengan kepentingan pertambangan.
Ia mencotohkan,
kawasan-kawasan hutan yang selalu dijaga dengan baik oleh masyarakat pada
akhirnya harus dirusak dengan kepentingan tambang. Dan, kasus ini sudah banyak
terjadi di Kupang.
HKm
Sementara Marthen
Malo dari Yayasan Bintang Timur menjelaskan, kepentingan dan pengaruh pemodal
atau investor atas tambang di NTT sudah sedemikian kuat.
Sebagian besar tanah
atau kawasan hutan di NTT sebenarnya sudah menjadi incaran bahkan secara
langsung maupun tidak langsung sudah dikuasi oleh pemodal. Ini terjadi karena
lemahnya pemerintah dan pejabat politik dalam upaya melindungi kepentingan
masyarakat.
"Kita masih
tataran diskusi di sini, tapi para pemodal sudah kuat berada di wilayah
ini," jelasnya.
Untuk menghambat hal
itu, maka perlu konsistensi dan kejelasan dalam tiap proses pembangunan di NTT.
Sebelumnya, Paskalis
Nai dari SDM Kupang menjelaskan, sebenarnya masyarakat bisa diberdayakan dalam
perlindungan hutan melalui pola program Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Hal ini sudah
dibuktikan oleh masyarakat Desa Koa dan Solbait di Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS). Menurutnya, dengan pendampingan oleh SDM Kupang, masyarakat di
dua desa ini sudah bisa diajak bekerja sama dengan setiap upaya termasuk
menjaga hutan.
Alo Tao menjelaskan,
pemerintah hingga tahun 2011 merencanakan menjadi sekitar 103.518 hektar
kawasan HKm.
Dikusi ini
menghasilkan kesimpulan antara lain pengelolaan teknologi ramah lingkungan
perlu ada dokumen Amdal yang jelas yang terkait dengan eksploitasi, eksplorasi
dan reklamasi. (alf/amy)