Jumat, 13 Maret 2020

Kenapa NTT Terus Saja "Panen" Jenazah TKI dari Malaysia?

KENAPA NTT TERUS SAJA "PANEN" JENAZAH TKI DARI MALAYSIA?

KUPANG, KOMPAS.com - Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur ( NTT), yang meninggal di Malaysia, mengalami peningkatan dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir ini.

Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), Kupang, jumlah TKI yang meninggal pada tahun 2013 sebanyak 31 orang, tahun 2014 menurun menjadi 21 orang, tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016 naik menjadi 49 orang dan tahun 2017 meningkat pesat menjadi 62 orang.

TKI yang paling banyak meninggal di Malaysia, sebagian besar berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan tidak memiliki dokumen atau TKI ilegal yang menjadi korban perdagangan orang.


Paul SinlaEloE, Aktivis PIAR NTT
Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono mengatakan, dalam rentang waktu tiga bulan, Januari-Maret 2018, 18 TKI asal NTT, meninggal di Malaysia.

Menurut Hermono, dari data statistik yang dimiliki pihaknya, jumlah TKI asal NTT yang meninggal dari tahun ke tahun terus meningkat.

"Tahun 2018, sampai dengan saat ini sudah ada 18 orang TKI asal NTT yang meninggal. Semuanya undocumented atau ilegal," ungkap Hermono kepada sejumlah wartawan di Kupang, belum lama ini.

Hermono menjelaskan, tahun 2016, sebanyak 46 orang meninggal, hanya empat orang yang legal. Sedangkan tahun 2017, ada 62 TKI asal NTT yang meninggal dan hanya satu orang yang legal.

"Menurut data yang ada pada kami, ada sekitar 2,7 juta sampai dengan 3 juta TKI yang bekerja di Malaysia. Lebih dari 50 persen TKI ini tidak memiliki dokumen resmi atau undocumented. 92 persen permasalahan TKI di Malaysia berhubungan dengan TKI ilegal ini," jelasnya.

Dengan data ini, lanjut Hermono, memperlihatkan ada sesuatu yang mesti dibenahi bersama-sama.

"Karena itu, ke depannya harus ada komitmen bersama untuk mengatasi masalah ini," ujarnya.

Hukuman Adat
Sementara itu Anggota DPRD NTT Jefry Unbanunaek meminta, pemerintah daerah di NTT segera menerapkan hukuman adat di wilayah itu untuk mencegah warga yang nekat bekerja ke luar negeri secara ilegal.

Hal itu menurut Jefry, karena selama ini peraturan pemerintah pusat hingga daerah soal perekrutan para TKI khususnya di Kabupaten TTS tidak optimal dan terus dilanggar.

Akibatnya kata dia, banyak warga TTS yang menjadi TKI ilegal. Bagi Jefry, hukum adat bagi orang Timor khususnya TTS, ketika diterapkan maka akan dipatuhi dan lebih ditaati oleh warga, karena bentuk sanksinya yang berat.

"Salah satu contohnya kami di Timor, biasa kalau orang tua sudah memasang Banu atau Bunuk (dedaunan yang sudah diritualkan secara adat atau sumpah adat) di pohon pinang, jeruk atau mangga, maka tidak akan ada seorang pun warga yang berani memetik buahnya, meski sudah masak, maupun yang jatuh di tanah karena warga takut kena tulah atau bila kedapatan akan dikenakan sanksi berat," kata Jefry.

Penerapan hukum adat itu lanjut Jefry, harus ada kesepakatan antara pemerintah daerah TTS dan lembaga adat di setiap desa sehingga bisa dijalankan sanksi adat bagi warga yang bekerja ke luar negeri melalui jalur ilegal.

Studi Banding
Pemerintah sebut Jefry, juga harus segera membangun balai latihan kerja bagi warga TTS yang mau bekerja ke luar negeri, sehingga mereka bisa terampil dan berkualitas serta bisa bekerja dengan mandiri. Dan hasil dari balai latihan kerja itu, para calon tenaga kerja akan memeroleh sertifikat.

"Kalau tidak kita terapkan hukum adat, nanti kita NTT, akan terus panen jenazah TKI dari Malaysia,"ucap Jefry kepada Kompas.com, Sabtu (31/3/2018).

Dihubungi secara terpisah Peneliti dari Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Elcid Li mengatakan, pemerintah harus melakukan studi banding dengan Timor Leste.

Timor Leste kata dia, adalah tetangga terdekat Indonesia, tapi warganya tidak menjadi korban perdagangan orang.

Elcid menilai, ada kesalahan dalam mengelola negara di tingkat yang paling mendasar, yakni dalam melindungi warga negara.

Menurut Elcid, Timor Leste adalah negara baru, tapi mampu membuat sistem yang benar dalam melindungi warga negaranya terhadap kasus perdagangan orang.

"Apakah di Timor Leste mengalami hal yang sama seperti kita. Karena itu kita minta Presiden Jokowi untuk studi banding ke Timor Leste, guna melihat bagaimana caranya mengurus warganya, agar tidak menjadi korban perdagangan orang,"tegas Elcid yang sudah empat tahun meneliti tentang perdagangan orang.

Elcid menyebut, Presiden Jokowi dan stafnya seperti Kapolri dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tidak mampu mendeteksi secara dini, jaringan perdagangan orang, yang menurutnya setara dengan jaringan teroris dan perdagangan narkoba.

"Kenapa tidak bisa temukan cara yang benar untuk mengatasi ini. Dengan maraknya kasus perdagangan orang, kenapa presiden tidak pernah mengeluarkan pernyataan darurat perdagangan orang,"imbuhnya.

Elcid pun berharap, ada jalan keluar dari pemerintah untuk menghilangkan perdagangan orang, khususnya di NTT.

Koordintor Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Paul SinlaEloE mengatakan, NTT merupakan 'surganya' bagi para pelaku tindak pidana perdagangan orang karena di wilayah itu marak terjadi kasus perdagangan orang.

Menurut Paul, sejak Januari 2017 hingga saat ini, PIAR NTT telah mengadvokasi tujuh kasus tindak pidana perdagangan orang dengan korban sebanyak 189 orang. Dengan rincian perempuan sebanyak 122 orang dan laki-laki sebanyak 67 orang.

"Dari total 189 orang yang menjadi korban, 23 diantaranya adalah berusia anak. Data korban perdagangan orang di NTT bisa lebih bombastis lagi, karena beberapa kasus ini hanya mampu ditangani oleh PIAR NTT,"ungkapnya.

Menurut Paul, merajalelanya perdagangan orang di NTT karena pemerintah provinsi hingga desa, beserta jaringan terkait seperti BNP2TKI, BP3TKI, APJATI dan gugus tugas trafficking, tidak mampu melakukan pencegahan, dengan membiarkan tetap berjalan sistem pengelolaan ketenagakerjaan mulai dari rekrutmen tenaga kerja, pra penempatan, penempatan, hingga purna penempatan.

Bentuk Tim
Secara terpisah, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, pihaknya akan membentuk tim untuk mendata tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang bekerja di Malaysia.

Menurut Lebu Raya, pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT tidak mengetahui waktu keberangkatan para TKI ilegal ini.

Ia juga mengaku tidak memahami mereka kerja apa di sana. Lalu tiba-tiba disiksa dan meninggal

"Kami menerima peti mayat terus. Terus terang, saya merasa tidak nyaman melihat rakyat dan anak-anak meninggal dengan cara itu. Sangat menyakitkan," kata Lebu Raya.

Pemerintah Provinsi NTT, lanjut Lebu Raya, telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) TKI NTT.

Namun, jumlah TKI Ilegal yang ke luar negeri, khususnya ke Malaysia, tetap tinggi.

Lebih lanjut, Lebu Raya mengungkapkan keinginan untuk membentuk dan mengirim tim pendataan TKI ilegal sudah bulat. Karena itu, ia memohon kiranya BNP2TKI dan Konjen untuk memfasilitasi kegiatan ini nantinya.

"Kita ingin mendata para TKI ilegal, namanya siapa dan asalnya dari mana. Setelah kita data, kita tahu seberapa yang bisa diurus supaya legal dan berapa yang bisa dibawa pulang. Saya akan mengumpulkan para bupati dan wali kota untuk mengambil langkah-langkah dalam memulangkan atau mengurus TKI ilegal yang sudah terdata itu," kata Lebu Raya.

Gubernur dua periode itu juga mengharapkan agar sinergi antara berbagai pemangku kepentingan dapat ditingkatkan.

Frans juga mengharapkan agar Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan (BP3)TKI NTT dapat membangun koordinasi yang intensif dengan pemerintah daerah dan menyosialisasikan persoalan ini secara terus-menerus sampai pada tingkat desa.

"Kita harus bicara ramai-ramai atau bersama terhadap masalah ini. Para tokoh agama dapat juga menggunakan mimbar untuk mengingatkan hal ini. Saya sudah meminta dengan tegas agar perusahaan yang merekrut TKI ilegal ditutup dan diberi sanksi hukum yang tegas. Hukum seberat-seberatnya," ujar politisi PDI-P itu. (KONTRIBUTOR KUPANG, Sigiranus Marutho Bere)

RANHAM Perlu Menjadi Sistem Dalam Pelaksanaan Kewajiban dan Pelayanan Pemrintah Provinsi NTT

RANHAM PERLU MENJADI SISTEM
DALAM PELAKSANAAN KEWAJIBAN DAN PELAYANAN PEMRINTAH PROVINSI NTT

ELSAM-Kupang.  Pasca reformasi, upaya peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dituangkan dalam kebijakan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM). 

Tujuannya tidak lain menyamakan persepsi tentang pelaksanaan strategi rencana aksi di daerah. Meskipun demikian, kebijakan RANHAM yang telah dilaksanakan di berbagai era pemerintahan belum sepenuhnya menjadi representasi keberhasilan penegakan HAM di Indonesia. Sejumlah persoalan mulai dari bentuk dan desain kebijakan perlu ditelaah lebih lanjut untuk menakar implementasi RANHAM sebagai alat percepatan pemenuhan HAM yang diharapkan.

Selama periode 4 – 8 Juni 2018,  Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM) melakukan kajian terkait implementasi RANHAM di Kota Kupang dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam proses pengumpulan data, sebanyak 10 narasumber diwawancarai mulai dari organisasi perangkat daerah (OPD), lembaga swadaya masyarakat lokal, hingga akademisi. 

Pengumpulan data difokuskan pada penggalian informasi mengenai RANHAM bentuk capaian hingga menguraikan hambatan-hambatan dalam implementasinya. Hal ini juga dimaksudkan untuk melihat fokus isu di Kota Kupang dan NTT kaitannya dengan yang dapat dilakukan melalui kebijakan RANHAM

KiriKe Kanan: Ariantje Komile (Perwakilan Kanwil Kumham NTT), Lintang Setianti (Peneliti ELSAM)
dan Mercy Djone (Perwakilan Kanwil Kumham NTT)
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT, Wayan Darmawan menyebutkan selama ini implementasi RANHAM fokus pada persiapan pelaporan. Padahal yang diharapkan menjadi sebuah sistem dalam pemerintahan.

“Desain kebijakan ini tidak termasuk dalam sistem pemerintahan sehingga sulit koordinasinya. RANHAM selama ini fokus pada pelaporan saja namun belum berkaitan dengan RPJMD” jelas Wayan.

Menurutnya, diperlukan instrumen lain untuk membedah RANHAM sebagai pedoman lainnya, hal ini ditujukan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sistem yang melibatkan tidak hanya pemerintah daerah melainkan masyarakat sipil.

Menurut Mercy Djone, perwakilan dari Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi NTT (Kanwil Kumham NTT) sebenarnya 5 aksi RANHAM bisa menjadi alat melihat persoalan yang terjadi di NTT.

“Dari  laporan-laporan aksi RANHAM tersebut kita bisa melakukan assessment atau penilaian sehingga mampu memberikan rekomendasi kebijakan pada pemerintah daerah dalam menyikapi persoalan yang nampak” jelas Mercy.

Meskipun demikian, menurut Martha, perwakilan dari Kepala Sub Bagian HAM, Biro Hukum Provinsi NTT menyebutkan kegiatan implementasi RANHAM fokus pada pelaporannya. Tidak sampai pada pembahasan dan rekomendasi atas persoalan yang dilaporkan.

“Selama ini Biro Hukum akan mengingatkan pemerintah kota dan kabupaten untuk segera melaporkan implementasi RANHAM melalui sistem yang dibangun oleh KSP (Kantor Staf Kepresidenan – red). Meskipun demikian, untuk tindak lanjut dari pembahasan laporan atau rujukan dari KSP.” Jelas Martha.

Paul SinlaEloE, peneliti dari Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Raktar (PIAR NTT) menilai bahwa persoalan utama dari implementasi RANHAM adalah kewenangan administrasi. Mengingat sekretariat bersama ini terdiri dari beragam dinas dan institusi terkait.

“Perlu ada pembahasan lebih lanjut baik di tingkat pusat maupun juga daerah untuk membahas kewenangan administrasi. Misalnya terkait institusi dari pusat seperti Kanwil Kumham yang sifat koordinasinya dari pusat dengan Pemerintah Daerah yang secara kewenangan wilayah untuk membentuk program. Harus ada kejelasan kewenangan dan garis koordinasi.” jelas Paul.

Selain di Kota Kupang dan Provinsi NTT, penelitian ini juga dilaksanakan di 5 daerah lainnya yakni DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Studi ini memberikan perhatian pada implementasi RANHAM daerah pada level provinsi (dan ibukota provinsi) dan keterkaitannya dengan persoalan di tingkat pusat. (Lintang Setianti)

Kenaikan Tarif Masuk Lasiana Dipertanyakan

KENAIKAN TARIF MASUK LASIANA DIPERTANYAKAN

Keputusan Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT menaikkan tarif masuk Pantai Lasiana dipertanyakan. Sebab, kenaikan tarif lebih dari 100 persen itu tidak diimbangi pembenahan untuk memuaskan pengunjung tempat wisata tersebut.

Aktivis PIAR NTT Cony Tiluata mengatakan itu kepada VN, Minggu (10/12). Dia mengomentari kenaikan tarif masuk Lasiana dari sebelumnya Rp.1.000/orang (anak kecil) kini menjadi Rp.3.000/orang. Orang dewasa dari Rp 3.000/orang menjadi Rp.5.000/orang. Sepeda motor dari 1.000/unit menjadi Rp 3.000/unit. Sementara mobil dari Rp.2.000 menjadi Rp.10.000/unit.

Dia menduga, keputusan menaikkan tarif tersebut tidak didasari kajian yang matang. Dia menduga ini semata untuk mengejar target PAD.

“Ini kalau orientasinya PAD, maka mengorbankan masyarakat. Padahal kehadiran pemerintah untuk masyarakat,” katanya.


Dia mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam kasus ini. Sebab, kenaikan tarif berdampak pada menurunnya kunjungan, terutama masyarakat lokal.

“Lantas korelasi menaikan tarif dimana? Tidak ada pembenahan dan penataan tapi naikkan tarif. Coba sajikan data pengunjung biar publik tahu,” kritiknya.

Tinjau Kembali
Dia meminta Pemprov NTT agar meninjau kembali kenaikan tarif tersebut. Jangan mengejar target PAD lantas mengorbankan masyarakat.

“Kita akan dampingi masyarakat untuk mendapatkan keadilan dengan menghadap DPRD Provinsi NTT, karena masyarakat harus mendapatkan dampak ekonominya,” katanya.

Ditanya kapan bersama masyarakat menemui Dewan dan Pemprov, Cony mengatakan pekan ini. “Minggu ini kita ketemu Dewan untuk sampaikan aspirasi masyarakat,” ujarnya.

Anggota DPRD Kota Kupang Daniel Hurek yang dikonfirmasi soal itu, mengatakan akan berkoordinasi dengan masyarakat. “Besok kita akan kordinasi untuk kalau bisa temui Pemprov,” katanya.

Salah satu pedagang, Ina Hendrik mengatakan, selama ini ia berjualan di Pantai Wisata Lasiana karena suami sebagai nelayan tidak bisa melaut karena pemerintah sudah melarang nelayan menambatkan perahunya di areal Pantai Lasiana. Beralih menjadi petani pun sulit karena Irigasi Tarus ditutup.

“Kita tidak bisa bertani, maka untuk memenuhi kebutuhan saya berjualan,” ujarnya.

Dia mengeluhkan kenaikan tarif masuk Lasiana. “Ini memberatkan kami. Kalau sepi pengunjung, jualan kami pun tak laku,” ucapnya.

Sedikitnya ada 36 pedagang yang merasakan dampak kenaikan tarif sejak Juli lalu itu. Pengunjung sepi dan dagangan pun sepi pembeli.

Pada Selasa (5/12) lalu, anggota DPRD Kota Kupang Daniel Hurek dan Aktivis PIAR NTT Cony Tiluata serta Paul SinlaEloE mendengarkan keluhan sejumlah pedagang di Lasiana.

“Jualan kami tidak laku karena pengunjung sepi setelah tarif masuk naik,” kata Lenci Lusi diamini pedagang lainnya.

Sebelum kenaikan tarif, kata dia, pengunjung masih lumayan banyak dan itu berdampak pada lakunya jualan para pedagang.

“Dulu belum ada kenaikan tarif masuk banyak pengunjung, meskipun tidak ada penataan jelas dari pemerintah. Namun setelah dinaikkan pengunjung sepi,” ucapnya.

Pada 16 Juni, lanjutnya, ada pejabat dari Dinas Parekraf NTT datang dan menggelar rapat bersama dimana disampaikan bahwa pengelolaan pantai Lasiana diambilalih oleh Pemprov sehingga tarif masuk akan dinaikkan. Termasuk retibusi yang dipungut dari pedagang pun naik dari Rp 10.000/pedagang/bulan menjadi Rp 25.000. Saat itu para pedagang tidak setuju tetapi pemerintah menaikkan sepihak.

Dalam pertemuan tersebut, ungkapnya, ada pejabat yang bahkan menanggapi bahwa jika jualan tidak laku maka berhenti berjualan. Bahkan diungkap pula bahwa ada oknum dari Dinas Parekraf yang jualan nasi kuning di Pantai Lasiana.

“Jadi kami curiga hanya modus untuk Dinas masukan orang di sini guna tempati kembali tempat jualan kita,” beber Lenci.

Dia mengatakan, ada 36 penjual yang selama ini mengantungkan hidup dengan penghasilan jualan pisang gepe, jagung bakar, kelapa muda dan saboak di Pantai Lasiana.

“Sebelumnya satu hari laku rata-rata di atas Rp.50.000 hingga Rp.200.000 dan di hari libur umum dan khusus Sabtu dan Minggu bisa sampai Rp.400 ribu. Sekarang tidak sampai bahkan tidak ada sama sekali, karena biaya masuk sangat membebani pengunjung,” ujarnya.

Dia mengatakan, kenaikan tarif masuk tidak disertai dengan penataan yang baik di areal pantai wisata itu. Kondisi sekarang lopo-lopi rusak parah, MCK tidak berfungsi, dan tidak ada penerangan malam.

Dia menuturkan keluhan tersebut sudah sempat disampaikan secara langsung kepada Gubernur Frans Lebu Raya pada 20 November lalu, saat Gubernur menghadiri sebuah acara di Lasiana. Namun, saat itu Gubernur hanya menjawab ‘Nanti akan dilihat’. Kami sudah sampaikan dengan spontan saat Gubernur datang di sini. Kami semua berkumpul, tapi beliau hanya bilang nanti kita lihat kembali,” ujarnya.

Penjual lainnya, Ina Hendrik mengeluhkan hal senada. Jualannya tidak laku akibat sepi pengunjung setelah kenaikan tarif masuk. “Pisang bakkar sonde laku lagi karena karcis masuk sangat mahal. Bayangkan satu motor kalau dua orang anak dan suami istri haru mengeluarkan sampai Rp.25.000, ini masyarakat terbebani sehingga tidak berkunjung. Dampaknya kami yang tanggung.

“Saya ini sudah jualan di Pantai Lasiana sejak 2006 lalu,” kata Ina Hendrik.

Pedagang lainnya, Leni Sau menilai, pemerintah lebih mengejar PAD dan mengorbankan masyarakat. “Maka kami minta Bapak Dewan dari Kota Kupang bisa bantu kami,” kata Leni. (E1)

FH UKAW Persiapan Revisi Kurikulum

FH UKAW PERSIAPAN REVISI KURIKULUM

Fakultas hukum Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Nusa Tenggara Timur sedang mempersiapkan perubahan kurikulum. Evaluasi internal dan workshop digelar untuk mendukung kegiatan tersebut.

Dekan FH UKAW, Melkianus Ndaumanu kepadau mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan perubahan kurikulum mengingat perkembangan Fakultas Hukum UKAW sudah semakin maju.Perkembangan tersebut menuntut sejumlah mata kuliah harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadis saat ini.

Melkianus menjelaskan  untuk mampu berkompetisi penting untuk melakukan perubahan iklim. Persiapan dilakukan dengan menggelar workshop bersama alumni sehingga bisa memberikan masukan sesuai dengan pengalaman dan latar belakang profesi masing-masing.


Ia mengaku  revisi dilakukan karena tuntutan regulasi dan kurikulum tidak relevan lagi dengan kemajuan.

“Regulasi mengatur agar ada perubahan dan wajib dilakukan revisi oleh karena kurikulum yang ada sudah tertinggal jauh,” tuturnya.

Selain mengundang alumni, pihaknya juga mengundang Dosen FH UGM Yogyakarta Prof Dr Ari Hernawan yang kini menjabat sebagai Wakil Dekan I FH UGM.

Prof Dr Ari Herawan mengatakan perubahan kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan saat ini. Mata kuliah dalam jangka waktu tertentu perlu direvisi dan yang masih relevan pun perlu disempurnakan lagi.

“Kini sudah tidak hanya dosen yang mengajar tapi perlu ada respon balik dari mahasiswa. Inilah yang harus diubah,” tuturnya.

Salah satu alumni Paul SinlaEloE mengapresiasi dan mendukung revisi kurikulum sehingga bisa berkompetisi dengan fakultas hukum di universitas lain.

“Kita dukung agar ada kemajuan lebih banyak lagi,” ujarnya.
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Pertemuan antara para saudagar dengan para pekerja politik, biasanya diakhiri dengan persekongkolan untuk melawan kepentingan publik dan atau permufakatan jahat untuk mengangkangi hak politik rakyat, demi lestarinya dinasti politik...

POPULER MINGGU INI:

AKTIVITAS
 BUKU: PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: MEMAHAMI SURAT DAKWAAN