Jumat, 24 Januari 2020

Perlu Tidaknya Amandemen V UUD 1945

PERLU TIDAKNYA AMANDEMEN V UUD 1945

https://gamkintt.blogspot.com/2011/04/perlu-tidaknya-amandemen-v-uud-1945.htm, Senin, 29 April 2011



Hari ini, 29 April 2011, DPD GAMKI NTT mengikuti diskusi terbatas forum Timex di kantor harian Timex – Kota Kupang. Diskusi ini dihadiri oleh H. Makarim (MUI NTT), DPRD NTT, Rm. Dus Duka (Keuskupan Agung Kupang), Paul SinlaEloE (PIAR), dan Jemmy Amnifu (Wakil Pemred Timex), Pau Bola dan Silvester Ndaparoka (DPD GAMKI NTT), serta DR. David Pandie (akademisi). 

Diskusi yang berlangsung hampir 2 jam ini dipandu oleh Simon Petrus Nili dengan narasumber kunci Ibu Sarra Lery Boeik selaku Dewan Perwakilan Daerah Utusan Propinsi NTT.

Isue amandemen
Ibu Lerry menyampaikan bahwa konstitusi atau UUD 1945 bukanlah produk hukum yang final tetapi terbuka diamandemen sesuai dengan dinamika negara. Itu kenapa, ada amandemen I, II, III, dan IV. Ada 3 isu strategis yang mau diusung oleh DPD yaitu sistim presindential, penguatan lembaga perwakilan (DPD), dan otonomi daerah.

Inti Sari
1.UUD 1945 merupakan produk hukum sekaligus produk politik. Sebagai produk hukum, maka konstitusi harus menjamin warga negara (kesejahteraan)artinya konstitusi mesti mencerminkan kebutuhan rakyat di bangsa ini, bukan merupakan cerminan elit-politik atau kelompok tertentu saja. Sebagai produk-politik maka konstitusi tidak bebas dari kepentingan politik yang syarat dengan semangat perebutan kekuasaan, fundamentalisme pasar, dan fundamentalisme agama. Jadi amandemen syarat dengan kompromi-kompromi politik.
2.Sementara itu, ada inkonsistensi penerapan nilai-nilai yang dalam mukadimah ataupun pasal-pasal Konstitusi. Inkonsistensi ini terlihat para ranah perilaku pemimpin negara ini atau para pengambil kebijakan di pusat maupun didaerah.
3. DPD yang merupakan produk amandemen IV, dikebiri perannya sebagai perwakilan daerah. Untuk itu, DPD perlu diberi ruang yang lebih proporsional di senayan maupun didaerah. Beberapa hal terkait dengan peningkatan kapasitas DPD adalah penambahan quota, perluasan peran didalam mengawal otda, penajaman pokok hubungan antara DPD-Gubernur-DPRD (mandatory) sebagai kekuatan segitiga didalam memperjuangkan kepentingan daerah di level pusat. Sejalan dengan itu, konsolidasi DPD asal NTT diperlukan agar tidak terkesan berjuang sendiri-sendiri. (GAMKI NTT).

Membedah Pelayanan RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang

MEMBEDAH PELAYANAN RSUD PROF.DR. WZ JOHANNES KUPANG
SUMBER: Laporan serial Pos Kupang edisi 3, 4 dan 5 Maret 2009 halaman 1



Hari Sabtu, 21 Februari 2009, Forum Academia NTT (FAN) menggelar diskusi bulanan "kopi darat" (kopdar) di ruang rapat Redaksi Pos Kupang. Kopdar FAN membedah Pelayanan RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang menghadirkan tiga nara sumber yaitu Direktur RSU Kupang, dr. Aphonsius Anapaku, Sp.OG, Ketua YLKI NTT, Mus Malessy dan Dr. Hyron Fernandez (FAN). Dari RSU hadir juga dr. E Frank Touw, dr. Yudith M Kota, drg. Maria K Setyawati, Damita, Yos Here dan David Mandala. Anggota FAN yang ikut diskusi, dr. Adhi Sanjaya, dr. Debby Veronika, Wilson Therik, Rm. Leo Mali, Daiman, Silvester Ndaparoka, Palce Amalo, Hiro Bifel, Leo Ritan, Elcid Li, Gusti Brewon, Volkes Dadi Lado, Paul SinlaEloE dan Sandro Dandara.

Diskusi sekitar tiga jam di akhir pekan itu luar biasa. Luar biasa untuk para narasumber yang hadir. Luar biasa untuk keterusterangan dan komitmen untuk berbenah. Acara "kopi darat" (kopdar) Forum Academia NTT (FAN) menguak tabir RSUD Kupang yang selama ini tidak terungkap ke ruang publik. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. WZ Johannes Kupang tidak sekadar padat modal dan manusia. Di sana padat masalah.

Direktur RSUD Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG menghangatkan diskusi dengan kejujurannya tentang pelayanan di rumah sakit yang belum sebulan dinakhodainya.Diberi kesempatan bicara pertama kali oleh moderator FAN, Wilson Therik, Alphons menjelaskan dengan runut soal manajemen.

Makalah dipersiapkan dengan baik. Dibagi dalam lima bagian yaitu pendahuluan, gambaran keadaan sekarang, keadaan yang diinginkan, pemecahan masalah dan penutup. Selain makalah, Dokter Aphons juga datang dengan tim lengkap. Ini merupakan apresiasi yang elok buat Forum Academia NTT yang menggagas diskusi.

Alphons jauh dari kesan membela diri apalagi menutup-nutupi kenyataan. Dia menghentak dengan mengungkap realitas RSU Kupang berkaitan dengan pemanfaatan sarana pelayanan, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi pelayanan. Dari sejumlah indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan, mutu pelayanan RSU yang berdiri di atas lahan seluas 51.670 meter persegi itu jauh dari standar Departemen Kesehatan (Depkes) RI.

"Dari grafik customer satisfaction index, kepuasan pelanggan internal rumah sakit 59,07 persen dan pelanggan eksternal rumah sakit 65,6 persen. Jika dibandingkan dengan kepuasan pasien menurut standar Depkes 90 persen, maka indeks kepuasan yang dicapai sangat jauh dari target. Kalau masyarakat bilang mutu pelayanan rendah, betul itu," katanya.

Hampir semua peserta diskusi menganggukkan kepala. Dokter Alphons Anapaku telah bicara adanya. Tidak menutupi potret RSUD Kupang. Tingkat mutu atau efisiensi pelayanan pun belum sesuai standar. Standar angka kematian umum (gross death rate) untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar sebesar 30 - 40 per mil (per 1.000 penderita). Fakta di RSUD Kupang, angkanya lebih dari 40 per mil.

Demikian pula untuk indikator net death rate atau angka kematian lebih besar dari 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar. Standar yang masih dapat ditolerir Depkes kurang dari 25 per 1.000 penderita keluar. Yang terjadi di RSUD Kupang, angkanya masih di atas 25 per 1.000 penderita. Pada tahun 2007, angkanya bahkan mencapai 49.

Rata-rata lama dirawat (average length of stay) RSUD Kupang sebesar 5,16 atau belum sesuai standar Depkes yaitu 3-4 hari. "Indikator ini memberikan gambaran bahwa mutu pelayanan RSU Kupang masih di bawah standar," katanya.

Sisi menarik adalah frekuensi pemakaian tempat tidur (bed turn over) dari tahun ke tahun relatif stabil antara 40 - 50 kali. "Turn over interval memenuhi angka ideal berkisar 1-3 hari, dimana tempat tidur tidak ditempati sampai terisi berikutnya tidak melebihi tiga 3 hari. Hal ini berarti rotasi pasien cukup tinggi sehingga tempat tidur tidak menganggur cukup lama," demikian Alphons. Data tersebut menjelaskan betapa rumah sakit rujukan satu-satunya di Propinsi NTT "tidak kekurangan" pasien. Selalu ada yang masuk dan keluar. Datang dan pergi. Bisa juga dimengerti bila pendapatan RSU Kupang tahun 2008 mencapai Rp 30 miliar lebih atau melampaui target Rp 25 miliar.

Setelah dokter Alphons, Wilson Therik memberi kesempatan kepada Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Propinsi NTT, Hj. Mus Malessy, S.H. Malessy mengungkapkan daftar keluhan masyarakat tentang pelayanan RSUD Kupang. Sebagai "juru bicara" konsumen, Malessy pun berkata apa adanya.

Ada tujuh poin diungkap Malessy. Pertama, pasien harus menunggu cukup lama bila mau diperiksa dokter apalagi dokter ahli. Kedua, pasien UGD tidak cepat ditangani, dan harus menyelesaikan administrasi terlebih dahulu, bahkan ada pasien sampai meninggal tidak dilayani. Ketiga, bila pasien nginap memerlukan bantuan segera, petugas yang dipanggil enggan melayani. Keempat, para dokter dan dokter ahli bertugas lebih dari 3 tempat sehingga perhatian bagi pasien di RSU hanya sedikit sekali. Kelima, banyak terjadi malpraktik berupa diagnosa yang salah, sehingga operasinya gagal, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Keenam, lingkungan serta kamar yang kurang bersih mengakibatkan pasien tidak betah dan minta pulang walaupun belum sembuh. Ketujuh, kurangnya air bersih dan kotornya toilet (kamar kecil) sehingga keluarga pasien harus membawa air sendiri.

"Inilah kenyataan yang terjadi. Pasien hanya menyaksikan pembangunan gedung mewah dan bertingkat di RSU itu tapi pasien harus bermimpi terus, kapan pelayanan di rumah sakit yang menjadi kebanggaan NTT ini bisa lebih baik dan memuaskan," kata Malessy.

Ketua YLKI NTT menegaskan, RSUD Kupang bukan tempat bagi para pejabat NTT, tokoh masyarakat atau kalangan pengusaha berobat. Kelompok masyarakat itu -- yang secara ekonomis mampu -- memilih berobat ke luar NTT bahkan luar negeri. "Bila kita telusuri berapa banyak orang NTT yang berobat ke luar negeri yakni, Singapura, Penang Malaysia, Australia maupun negara lainnya, maka kita akan terkejut setiap bulan tidak kurang dari 75 sampai 100 orang berobat ke luar negeri. Baik para pejabat, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa. Walaupun berobat ke luar negeri biayanya sangat mahal, namun mereka menginginkan pelayanan yang baik, diagnosa yang tepat, kepastian jenis penyakit yang diderita dan memuaskan," kata Malessy.

"Sungguh disayangkan, orang NTT yang hidup ekonominya masih pas-pasan harus mengeluarkan uang untuk berobat ke negara lain. Ironisnya kalau pejabat pemerintah yang berobat keluar negeri, maka ongkos yang bermiliaran rupiah harus ditanggung oleh rakyat," tambah Malessy.

Sentilan ketua YLKI NTT memang dapat memanaskan hati dan kuping. Tetapi suasana diskusi petang itu tetap adem karena spirit diskusi FAN adalah demi pelayanan RSU Kupang yang lebih baik. Bukan menunjuk hidung yang dituding bersalah dan bersorak bagi yang merasa paling benar.

Fakta yang diungkap YLKI melahirkan pertanyaan baru yang menggelitik. Kalau demikian adanya, apakah RSUD Kupang serta rumah sakit milik pemerintah di berbagai daerah di NTT khusus bagi si miskin?

"Anda tidak usah terkejut. Standar pelayanan rumah sakit pemerintah memang untuk kelompok masyarakat kelas bawah. Bukan kelas menengah apalagi kelas atas," kata narasumber ketiga dari Forum Academia NTT, Dr.dr. Hyron Fernandez.

Bagaimana respons Direktur RSU Kupang? Dokter Anapaku lagi-lagi tidak menampik litani keluhan Mus Malessy serta penegasan Hyron Fernandez. Diskusi akhir pekan itu sungguh forum membuka diri terhadap kritik demi sebuah perubahan. Perubahan bernama pelayanan. Pelayanan RSU bisa diukur mulai dari soal kecil seperti cara senyum dan sapa. Bagaimana di RSU Kupang?


Gara-gara urusan senyum dan sapa, John Robert Powers, Lembaga Pendidikan tentang Pengembangan Pribadi ikut disebut di ruang redaksi Pos Kupang, tempat Kopdar FAN berlangsung 21 Februari 2009. Ada apa gerangan? Diskusi tentang rumah sakit kok bawa-bawa nama John Robert Powers yang akrab dengan dunia modeling. Apakah rumah sakit rujukan satu-satunya di NTT mau dibawa ke sana?

Tentu tidak! Lembaga pengembangan kepribadian itu sempat disebut peserta diskusi ketika alur percakapan mulai menyentuh pelayanan terhadap pasien. Direktur RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG tidak mengingkari bahwa senyum yang ramah, sapaan yang santun dan meneguhkan si sakit belum sepenuhnya membumi di RSUD Kupang.

"Nilai dasar yang melandasi pelayanan RSU Kupang adalah santun, integritas, kebersamaan, akuntabel dan profesional. Tapi kami akui nilai dasar pelayanan itu belum terwujud karena indeks kepuasan pelanggan masih jauh dari target Depkes," kata Alphons.

Pesannya jelas. Ada masalah pelik. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN) merumuskan masalah yang dihadapi RSUD Kupang sebagai berikut. Padat modal, padat karya, padat teknologi, padat manusia (SDM), dan padat masalah.

Modal bagi RSUD Kupang memadai. Setiap tahun anggaran, lembaga itu memperoleh alokasi dana kesehatan dari APBD NTT berkisar antara 76-78 persen. Menurut Dokter Alphons Anapaku, fasilitas pelayanan rumah sakit tipe B itu tidak buruk. Di sana ada Instalasi Rawat Inap, Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi ICU, ICCU, HCU, NICU dan Hemodialisa, Instalasi Farmasi, Patologi Anatomi, Radiologi, Gizi dan Instalasi Pemulasaran Jenasah. "Beberapa alat canggih pun segera dioperasikan seperti CT-Scan, Mamografi dan Endoskopi," kata Alphons.

Dari sisi sumber daya manusia (SDM), jumlah mitra kerja direktur cukup mencengangkan. Latar belakang pendidikan mereka mulai dari tingkat SD hingga S3. Dalam diskusi 21 Februari lalu, Dokter Alphons Anapaku menyebut angka 1.050 orang yang berkarya di RSU Kupang. Rumah sakit itu "berkekuatan" 95 tenaga dokter yang terdiri dari Dokter Spesialis 36 orang, Dokter S2 Kesehatan Masyarakat 5 orang, Dokter Umum 49 orang dan 5 orang Dokter Gigi. Para dokter itu didukung ratusan tenaga perempuan dan laki-laki dengan keahlian masing-masing sesuai kebutuhan manajemen rumah sakit tipe B.

Mengelola "ribuan kepala" tentu bukan perkara gampang. Maka tepatlah pernyataan Dokter Hyron Fernandez, padat manusia, padat masalah. Menurut Dokter Alphons, rumah sakit itu masih butuh dokter spesialis karena jumlahnya belum memadai pada spesialisasi tertentu, misalnya anestesi.

Sampai di sini ada kisah menarik. Ternyata ada dokter spesialis yang naik bemo (sapaan untuk mobil angkutan kota di Kupang, Red) dan tinggal di kamar kos. Bayangkan mobilitas dokter spesialis melayani pasien kalau mengandalkan bemo? Sebagai spesialis mereka berhak mendapatkan kendaraan operasional dari pemerintah daerah. Tidak perlu mewah. Yang utama nyaman dan aman.

Manajemen RSUD Kupang pernah meminta dana untuk kendaraan operasional kepada DPRD NTT. Dalam rapat anggaran, permintaan itu ditolak para wakil rakyat yang terhormat. Ada anggota DPRD berkata demikian, "Kami anggota Dewan saja naik bemo kok."

Oh.....alasan apa ini? Kepentingan dokter dan Dewan berbeda bung! Dokter butuh kendaraan operasional guna memudahkan pelayanan. Lima menit itu penting bagi orang sakit. Kalau anggota DPRD yang segar bugar terlambat lima menit bahkan berkali-kali mangkir dari sidang Dewan tidak berakibat sampai dengan kematian. Terlambat lima menit bagi yang sekarat bisa fatal.

Masuk akal kalau banyak kabar tentang dokter spesialis hengkang dari beranda Flobamora. Mengertilah kita kalau hampir seluruh kabupaten/kota di NTT berteriak ketiadaan dokter ahli. Salah siapa? Muncul pertanyaan kecil, seberapa besar batas kewenangan seorang direktur rumah sakit milik pemerintah daerah. Di era otonomi daerah, mereka malah kelihatan tak berdaya. Siapa sesungguhnya yang kuat kuasa di belakang layar?

Anggota FAN, Silvester Ndaparoka membagi pengalamannya. Dia pernah tinggal bersebelahan kamar kos dengan dokter spesialis bedah yang bertugas di RSUD Kupang. Dokter itu tidak diberi kendaraan yang menjadi haknya. "Bagaimana mau bertahan kalau hak-hak mereka tidak diperhatikan?" kata salah seorang peserta diskusi. Dokter Alphons Anapaku, dr. Yudith M Kota dan drg. Maria K Setyawati mengangguk-anggukkan kepala. Tanda setuju.

Sebenarnya masih ada perkara lain berkenaan dengan komitmen pelayanan dokter spesialis di RSUD Kupang. Namun, dalam diskusi FAN 21 Februari 2009, berkali-kali terdengar pernyataan off the record. Dan, itu mutlak dipatuhi pers. Belum waktunya diungkap untuk publik. Mungkin pada kesempatan lain.

Cukup menarik pernyataan Ketua YLKI NTT, Mus Malessy. "Dokter kan manusia, bukan Superman yang tidak pernah lelah. Undang-undang membolehkan dokter dapat membuka praktik maksimum tiga tempat, tapi apakah mereka dapat mengukur kemampuan dirinya?" kata Malessy.

Dalam diskusi yang sangat terbuka itu, Alphons Anapaku juga menyinggung kasus Yakobus Anunut yang menggendong jenazah putrinya, Limsa Setiana Katarina Anunut (2,5 tahun) dari RSU menuju rumahnya di Kelurahan Oesapa Selatan, Kamis dinihari, 12 Februari 2009. Anunut memilih jalan kaki karena tak punya uang Rp 300 ribu untuk menyewa mobil ambulans rumah sakit.

Menurut Dokter Alphons, yang menawarkan jasa mobil ambulans seharga Rp 300 ribu kepada Yakobus Anunut bukan karyawan IPJ RSUD Kupang, melainkan calo. "Ada calo di RSU. Dia menawari ongkos ambulans Rp 300 ribu dan ongkos taksi Rp 400 ribu. Kasus percaloan seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka memanfaatkan keadaan. Untuk pasien dari keluarga miskin seperti Yakobus, tidak ada biaya mengantar jenazah sampai ke rumah. Mungkin dibilang kami bela diri, tapi kenyataan memang seperti itu," tegas Dokter Alphons.

Kawasan rumah sakit mestinya area paling netral. Nyaman dan aman. Ternyata jebol sisi keamanannya. Calo berkeliaran. Mereka memangsa sesama yang letih, panik dan cemas. Memangsa saudara sendiri yang berlinang air mata. Keterlaluan! Rumah sakit pemerintah tak sekadar poor quality for poor people. Siapa yang masih menganggap ini bukan prahara? 

Tentang kondisi rumah sakit pemerintah saat ini, Dr. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN) melukiskan dengan sangat elok dalam Kopdar FAN, 21 Februari 2009. Rumah sakit ibarat kapal pengangkut limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Menurut Hyron, rumah sakit pemerintah melayani konsumen (masyarakat) dengan karakter B3, Berangasan, Bayar kurang tetapi Berani nuntut. Penumpang kapal itu adalah mereka yang mudah naik darah, gemar berkelahi, ganas serta kasar. Kendati bayar kurang, mereka berani menuntut pelayanan terbaik.

Kapal bernama rumah sakit pemerintah juga memiliki crew (karyawan) yang berangasan, saling menyerang dan merasa paling pintar. Jadi, betapa beratnya tugas direktur selaku nakhoda. Apalagi dia harus piawai menghadapi kesulitan bahan bakar, arus, gelombang, ranjau serta bom waktu yang dapat meledakkan kapal dalam pelayaran menuju dermaga tujuan.

Bom waktu, kata Hyron, berupa kesejahteraan, kesenjangan dan inkoordinasi. Bukan cuma sekali karyawan RSU pemerintah di NTT menggelar demonstrasi terkait kesejahteraan. Kenyataan ini tentu terjadi di RSUD Kupang. Bila tidak direspons dengan serius, bom waktu itu bisa meledak kapan saja dan korbannya adalah pelayanan terhadap pasien.

Kapal itu menghadapi arus yaitu globalisasi, reformasi dan krisis. Arus itu tidak mungkin dihindari. Selain arus kencang, kapal rumah sakit yang mengangkut B3 itu menghadapi tiga gelombang besar, yakni Tuntutan Mutu Pelayanan, Tuntutan Moralitas Provider dan Tuntutan Fasilitas. Sementara bahan bakar yang dibutuhkan kapal mahal harganya dan selalu kurang.

Kapal rumah sakit harus hati-hati berkelit agar terhindar dari ranjau. Ranjau yang siap menelannya hadir lewat peraturan, kontrol dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, implementasi UU Perlindungan Konsumen, UU Praktik Kedokteran dan keberadaan para pesaing.

Mengenai peraturan, Hyron menyebut kurang lebih 40 aturan yang membelenggu RS pemerintah di Indonesia. Pengelola rumah sakit mengalami kebingungan apakah sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan atau sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak perlu birokratis. Otonomi RS sangat sedikit.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001, pengelolaan RS diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Kerja Daerah, RSUD adalah Lembaga Teknis Daerah. Maka penempatan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit ditentukan kepala wilayah (gubernur, bupati/walikota). Syukur kalau penempatan SDM sesuai prinsip manajemen, the right person on the right place. Tidak sedikit kasus seseorang ditempatkan pada posisi yang keliru alias tidak kompeten. Meski demikian, direktur tak berdaya menolak. Mana mungkin direktur yang diangkat gubernur atau bupati berani melawan?

Kewenangan RS terhadap anggaran juga terbatas. Keputusan tidak selalu berada di tangan direktur atau wakil direktur. Anggaran punya mekanisme sendiri dan harus dipatuhi. Tragis betul manajemen RS pemerintah. Dia disuruh lari (untuk memberi pelayanan terbaik), tetapi kaki dan tangan diikat oleh beragam aturan dan mekanisme birokrasi yang berbelit.

Kalau demikian kenyataannya, ke mana arah kapal RSUD Kupang? Bagaimana sebaiknya membawa kapal itu ke pelabuhan tujuan? Direktur RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG ternyata sudah punya resep pembenahan untuk memperbaiki mutu pelayanan.

"Ada beberapa Critical Success Factors (CSF) yang menjadi perhatian dan komitmen yaitu RS dikelola secara PPK-BLU, penataan tata kelola, SDM yang profesional, produktif dan berkomitmen, mampu melakukan networking, mampu melakukan program menjaga mutu dan ada political will serta dukungan pemerintah pusat dan daerah," kata Alphons.

Apa itu BLU atau Badan Layanan Umum? Menurut Alphons, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang jasa dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan dan dalam kegiatannya berdasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. "Ciri utama tetap pemerintah, fungsi publik tetap melindungi si miskin melalui subsidi, RS mempunyai kewenangan penuh untuk menangkap potensi pasar, otonom untuk mekanisme pemberian insentif bagi para dokter spesialis dan investasi tidak hanya tergantung pada pemerintah," katanya.

Ketentuan tentang BLU tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. "Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa." (Pasal 68 ayat 1). "Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan" (Pasal 68 ayat 2). Aturan terkait adalah PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.

Dokter Hyron Fernandez sependapat dengan pandangan Alphons. Menurut dia, pencapaian visi RSUD Kupang bisa digapai jika didukung perubahan mindset dan perubahan kebijakan RS Daerah menjadi BLU. Rekayasa budaya organisasi diperlukan guna mengubah mindset sikap mental yang mapan. Mindset bisnis dan pemasaran pun mutlak disegarkan lagi mengacu pada paradigma kepuasan pelanggan, paradigma SDM dan peningkatan mutu. 

Ubah mindset itu menyentuh pertanyaan ini, apakah direktur RS pemerintah di NTT mesti selalu dan selamanya seorang dokter? Dalam diskusi 21 Februari lalu, anggota FAN, dr. Debby Veronika membagi pengalamannya melihat manajemen RS di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Di sana, direktur RS bukan seorang dokter, tetapi manajer profesional. Dokter tetap pada profesinya. Dokter tidak patut dipusingkan menjadi nakhoda kapal bermuatan B3.

Menurut Dokter Alphons dan Hyron, dengan menjadi BLU, pengelolaan RS pemerintah akan berubah dari sistem yang birokratis dan inefisien menjadi lembaga yang mandiri, fleksibel, cepat mengambil keputusan, mutu pelayanan sesuai harapan klien, kepuasan pasien menjadi fokus perhatian SDM setiap unit pelayanan, terjangkau oleh setiap orang, efisien dan mampu bersaing.

Dalam hal pengembangan SDM, RS pemerintah menerapkan penilaian berbasis kinerja atau Key Perfomance Indicators (KPI). "Remunerasi akan dikaitkan dengan kinerja," kata Alphons Anapaku. Sesungguhnya Depkes telah mengembangkan KPI sejak 2004. Pelaksanaan di NTT? Kelihatan masih samar-samar.

Tekad menjadikan RSUD Kupang sebagai BLU bukan isu baru. Dalam artikel berjudul Badan Layanan Umum dan Masa Depan RSU Kupang (Pos Kupang, 29 Januari 2009 halaman 14), Hyron Fernandez menulis, bertolak dari semangat meningkatkan kualitas pelayanan, sejak bulan Desember 2006 manajemen RSU Dr. WZ Johannes dengan kerja keras semua unsur internal rumah sakit dan dana untuk dukungan teknis dari GTZ Siskes NTT dan dana APBN serta APBD Propinsi mendekati Rp 1 miliar, telah dilakukan persiapan semua syarat teknis maupun administratif menjadi BLU. Termasuk kaji banding ke sejumlah RS yang telah melaksanakan BLU, baik di Bali maupun di Jawa, baik oleh internal RS maupun pemangku kepentingan di luar RS, termasuk legislatif.

Semua dokumen telah siap dan diserahkan kepada Pemda Propinsi sebagai pemilik (RSU Kupang) sejak semester kedua tahun 2007. Berbagai advokasi telah pula dilakukan, baik oleh konsultan dalam persiapan berbagai dokumen maupun dengan mendatangkan unsur manajemen RSU pemerintah dari tempat lain yang telah melaksanakan PPK-BLU RS. Birokrasi kita seolah tetap bergeming.

Jadi tahu siapa yang tidak peduli. Proposal BLU itu sudah dua tahun usianya. Entah mengendap di mana sekarang. Bola panas ada di tangan pengambil kebijakan tertinggi di daerah ini, bukan di tangan seorang direktur.

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya selalu mengingatkan kita lewat kata-katanya yang bijak. Untuk NTT yang lebih baik dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. Tidak bisa tidak! Lalu bagaimana dengan nasib RSUD Kupang? (Dion DB Putra)

Energi Belum Ditempatkan Sebagai Kebutuhan Pokok


ENERGI BELUM DITEMPATKAN SEBAGAI KEBUTUHAN POKOK


KUPANG, PK -- Pemerintah maupun masyarakat NTT belum menempatkan energi sebagai kebutuhan pokok Mestinya, energi harus dijadikan sebagai kebutuhan pokok harian, sama halnya kebutuhan akan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok).

Demikian salah satu resume diskusi terbatas yang digelar Forum Akademia NTT (FAN) di Balai PWI Cabang NTT, Jalan Veteran-Kupang, Sabtu (27/6/2009). Diskusi terbatas itu bertajuk "Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif Terbarukan".

Hadir pada diskusi ini, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Propinsi NTT, Bria Yohanes dan para anggota FAN, yakni Dion DB Putra (Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang), Wilson Rondo, Wilson Therik, Candra Dethan, Paul SinlaEloE, Noverius Nggili, Gusti Brewon, Hiro Bifel, Kiky Radja dan Sandro. Hadir pula aktivis LSM PIKUL, Tori Kuswardono sebagai salah satu pembicara dan Silvya Fanggidae.

Diskusi tersebut membahas beberapa persoalan penting seputar pengembangan energi alternatif guna mengatasi krisis energi.

Bria Yohanes yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam diskusi itu, mengatakan, NTT sangat potensial bagi pengembangan energi alternatif seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga angin (PLTA), panas bumi, air (mikro hidro) dan uap sebagai pengganti pembangkit listrik tenaga diesel.

PLTS, katanya, sudah dikembangkan di NTT sejak 1997 dan hingga tahun 2007 diperkirakan kurang lebih 18.690 unit PLTS sudah dinikmati masyarakat NTT.

Begitu pula dengan energi air, uap dan angin yang potensial di NTT.

Bagi daerah, lanjutnya, pengembangan energi alternatif itu belum diposisikan sebagai "urusan wajib" melainkan "urusan pilihan". Tak heran jika energi belum dijadikan sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat.

Menurut dia, tahun anggaran 2009, NTT kebagian 100 unit fasilitas energi terbarukan berupa PLTS. Sementara dalam tahun anggaran 2009 ini Pemprop NTT lewat persetujuan DPRD NTT mengalokasikan dana Rp 1,5 miliar dari APBD NTT untuk kebutuhan pengembangan energi.

"Kita harapkan DPRD melihat kebutuhan yang prioritas seperti energi listrik dalam membagi alokasi anggaran. Sebab, pemenuhan energi listrik dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan merupakan suatu keharusan saat ini mengingat keterbatasan sumber energi konvensional," katanya.

Sampai saat ini, lanjutnya, sebanyak 1,1 juta dari 4,4 juta penduduk NTT yang belum menikmati penerangan listrik karena keterbatasan anggaran baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun daerah.

"Persoalan sumber daya energi listrik sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Namun masih sekitar 23 persen masyarakat di NTT belum menikmati fasilitas penerangan tersebut," katanya.

Diskusi tersebut melahirkan beberapa pikiran penting diantaranya, pertama, yakni agar energi harus dijadikan sebagai salah satu kebutuhan pokok.

Kedua, masih banyak regulasi politik nasional tentang energi yang tidak berpihak pada mandat layanan sosial masyarakat tetapi hanya fokus pada usaha mencari profit.

Ketiga, usaha pemenuhan kebutuhan energi listrik harus diusahakan sebesar-besarnya untuk meminimalisasi dampak kerusakan sosial ekologis pada wilayah pembangkit maupun pada wilayah sumber asal energi fosil bahan bakarnya.

Keempat, pemahaman masyarakat masih sangat "energi fosil sentris" dan belum berpikir tentang "kesadaran ekologis dan keberlanjutan energi" dalam wilayah lebih luas. Karena itu perlu digagas kampanye, advokasi, gerakan sosial sadar energi dalam skala luas dan bentuk-bentuk lebih kreatif.

Kelima, urusan energi harus menjadi bagian dari kebijakan perencanaan dan program pembangunan serta anggaran daerah. Tidak bisa hanya wacana. Ini bukan pilihan, melainkan urusan wajib dan prioritas.

Keenam, pengembangan energi alternatif menjadi prioritas penting hari ini dan masa depan, karena itu perlu diperkuat skema tata kelola, kemudahan teknologi, aksesibilitas masyarakat dan sinergi kerjasama lintas stakeholder sehingga dapat mendorong percepatan implementasi di NTT. (yel/nia)

Sumber: Pos Kupang edisi Senin, 29 Juni 2009 halaman 1

Dibentuk Tim Kerja Pembentukan KID NTT

DIBENTUK TIM KERJA PEMBENTUKAN KID NTT
KERJA SAMA PEMPROP NTT DENGAN GTZ 

KUPANG, POS KUPANG. com -- Pemerintah Propinsi NTT bekerjasama dengan GTZ telah membentuk tim kerja pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID)  NTT. Pembentukan KID sebagai implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Pembentukan tim kerja tersebut setelah dilakukan lokakarya dan pelatihan kepada peserta yang berasal dari birokrat, Community Social Organization (CSO) selama dua hari, Senin dan Selasa (31/5-1/6/2010) di Hotel Kristal Kupang.
Lokakarya ini menghadirkan  nara sumber, Alamsyah Saragih (Komisi Informasi Nasional), Honing Sani (anggota Komisi IV DPR RI), Agus Sudibyo (Yayasan SET), Robert Candra (Setda Kabupaten Lebak), Prof. Dr. Alo Liliweri (Undana), Dion DB Putra (Pemred Pos Kupang), Mutiara Dara Mauboi (Ketua KPID NTT) dan  Dahlan dari Fitra Jawa  Timur.

Para nara sumber sesuai kompetensinya membagi pengalaman dan memberikan pemahaman kepada peserta agar memahami dengan benar keterbukaan informasi publik itu.  Lokakarya itu juga menarik karena diwarnai diskusi yang sangat komprehensif.

Pada sesi terakhir lokakarya forum berhasil membentuk tim kerja untuk pembentukan KID dengan tugas dialog publik dikoordinir oleh Wilson Therik (FAN) dan Abri (Bappeda NTT). Tim kerja diketuai, Dr. Hironimus  A Fernandez  (Sekretaris Bappeda NTT), Paul SinlaEloE (PIAR NTT), Gabriel Beri Binna (Komisi A DPRD NTT) dan Rikardus Wawo (Forum Parlemen NTT). Untuk bidang penguatan badan (SOP) dikoordinir Rita Waisan dan Hasnah (Biro Organisasi Setda NTT) dan Cindy Saburhan. Tim  ini akan melakukan aksi dengan tenggang waktu satu sampai empat bulan.

Khusus tim kerja yang dikoordinir Dr. H Fernandez, mengemban tugas merekrut tim independen yang akan bekerja menyeleksi sepuluh orang calon KID untuk mengikuti fit and proper test  oleh DPRD NTT. Dari fit and proper test akan menghasilkan lima orang anggota, terdiri dari seorang pejabat birokrat dan empat orang tokoh masyarakat, termasuk pers. Komisi ini bekerja mengawasi dan menyelesaikan sengketa antara publik dengan pejabat publik yang enggan memberikan informasi. Dengan demikian, empat anggota dari tokoh masyarakat betul-betul harus independen.

Sebelum pembentukan tim, forum lokakarya mendiskusikan panjang lebar soal pelayanan informasi publik, terutama akses masyarakat terhadap dokumen APBD. Dari sharing antara kelompok CSO dengan birokrat, terlihat jelas bahwa publik masih sulit mengakses dokumen APBD dengan berbagai alasan. Kalangan birokrat sebagai  pihak yang bertanggungjawab terhadap informasi  publik, khawatir kalau dokumen APBD disalahgunakan.

Untuk memudahkan akses APBD, demikian forum lokakarya, perlu dibentuk unit akses  informasi, diintensifkan dialog antara CSO dengan pemerintah, peningkatan kapasitas masyarakat melalui Sekolah Anggaran (Segar) melaksanakan UU KIP, mengefektifkan media informasi publik, seperti resourch center, website,  CD, poster, Forum Parlemen dan FAN.

Jasni dari GTZ menyatakan dukungan kepada tim kerja yang akan bekerja menyeleksi tim independen. Jasni salut dengan lokakarya  yang menghasilkan keputusan strategsi demi terbentuknya KID di NTT.

Sedangkan Prof. Dr. Gatot DH Wibowo dari Fakultas Hukum Universitas Mataram yang hadir memberikan motivasi, menilai kognitif masyarakat NTT cukup bagus. Proses diskusi, kata Wibowo sangat hidup. Banyak pikiran cemerlang yang diberikan demi terbentuknya KID di NTT. (gem) 
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Pertemuan antara para saudagar dengan para pekerja politik, biasanya diakhiri dengan persekongkolan untuk melawan kepentingan publik dan atau permufakatan jahat untuk mengangkangi hak politik rakyat, demi lestarinya dinasti politik...

POPULER MINGGU INI:

AKTIVITAS
 BUKU: PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: MEMAHAMI SURAT DAKWAAN