Kamis, 23 Januari 2020

Diskusi FAN: PLN Segera Siapkan Call Center

DISKUSI FAN: PLN SEGERA SIAPKAN CALL CENTER


KUPANG, PK -- Demi meningkatkan komunikasi dengan para pelanggan serta masyarakat luas yang membutuhkan informasi, manajemen PT PLN (Persero) Kantor Wilayah NTT akan menyiapkan sarana call center dalam waktu dekat. Langkah awal akan diberlakukan di PLN Cabang Kupang.

General Manager PT PLN (Persero) Kantor Wilayah NTT, Santoso Januwarsono mengemukakan hal itu, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Academia NTT (FAN) di Hotel Charvita-Kupang, Sabtu (28/3/2009) malam. Diskusi tentang pelayanan PLN malam itu juga menghadirkan narasumber Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Cabang NTT, Ny. Mus Malessy, S.H.

"Usul saran dari Forum Academia NTT agar PT PLN lebih transparan terhadap sangat kami hargai. Kami akan menyiapkan call center agar masyarakat bisa menyampaikan keluhan. Call center juga akan melayani kebutuhan masyarakat tentang informasi apa saja berkaitan dengan pelayanan PLN," kata Januwarsono.

"Call center PLN tidak menggunakan mesin penjawab, tetapi oleh petugas khusus untuk itu," tambah Januwarsono yang dalam diskusi itu didampingi Manajer Perencanaan, Sulityo, Manajer Teknik, Supriyadi, Manajer PLN Cabang Kupang, Ignatius Rendroyoko dan Humas PLN Wilayah NTT, Paul Bolla. Dari FAN, hadir antara lain, Prof Vincent Gasperz, Mario Vieira, Rm. Leo Mali, Gusti Brewon dan Sandro Dandara.

Diskusi yang dipandu Paul Sinlaeloe dari FAN berlangsung menarik. Ketua YLKI NTT, Mus Malessy mengungkapkan kerugian yang dialami konsumen terkait pemadaman bergilir yang masih berlangsung sampai saat ini. 

"Pemadaman bergilir merugikan konsumen, tetapi mereka sulit sekali mendapatkan kompensasi," kata Malessy. Ia juga menyampaikan keluhan konsumen yang disalurkan melalui YLKI. 

Mengenai pemadaman bergilir, Januwarsono dan Manajer PLN Cabang Kupang, Ignatius Rendroyoko menjelaskan alasan teknis yang sudah kerapkali disosialisasikan kepada masyarakat selama ini. 

"Tidak ada maksud PLN untuk menyusahkan konsumen. Mudah-mudahan pada bulan Mei 2009, jadwal pemadaman bergilir dapat diminimalir," kata Januwarsono.
Dalam diskusi selama tiga jam yang diikuti 22 peserta, pimpinan PLN juga menjelaskan rencana kerja jangka panjang manajemen PLN demi mengatasi krisis listrik di NTT. "Yang sedang kami kerjakan sekarang antara lain PLTU Ropa di Ende, Bolok - Kupang dan Atambua," demikian Januwarsono. (osi)

SUMBER: Pos Kupang edisi Selasa, 31 Maret 2009 halaman 9

Otonomi Daerah NTT; Gurita Korupsi di Daerah Miskin

OTONOMI DAERAH NTT: GURITA KORUPSI DI DAERAH MISKIN


Kondisi sebagian besar alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur boleh jadi tandus dan gersang. Kekeringan dan rawan pangan seolah menjadi bencana rutin yang dihadapi warga NTT hampir setiap tahun.

Kemiskinan, kasus gizi buruk, angka putus sekolah, serta angka penganggur yang tinggi pada akhirnya menjadi mata rantai lanjutan dari persoalan itu.

Kini, lebih dari satu dekade pelaksanaan otonomi daerah, beban rakyat NTT semakin berat karena pada saat yang sama harus menghadapi bencana baru yang muncul akibat buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Bencana yang sudah ada di depan mata dan dipastikan makin memiskinkan rakyat NTT itu adalah korupsi.

Berdasarkan pantauan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT sepanjang 2009 terhadap 16 dari 21 kabupaten/kota di NTT, ada 125 kasus dugaan korupsi dengan total indikasi kerugian negara Rp 256,3 miliar. Padahal, dana sejumlah itu jika digunakan untuk melakukan intervensi pemulihan gizi buruk anak balita yang dalam 90 hari membutuhkan Rp 1,5 juta per anak balita, bisa menjangkau sekitar 170.000 anak balita.

Jumlah anak balita penderita gizi buruk di NTT mencapai 60.616 dari total 504.900 anak balita di sana. Ironis sekali ketika bantuan untuk mengatasi gizi buruk ataupun rawan pangan yang digelontorkan pemerintah pusat dan lembaga donor lain belum juga bisa membuahkan hasil positif, sementara di sisi lain ada indikasi korupsi keuangan negara yang nilainya lebih dari dua kali lipat dari anggaran yang dibutuhkan untuk penanganan seluruh kasus gizi buruk di sana.

Gambaran lain, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ada 587 surat pengaduan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melaporkan indikasi tindak pidana korupsi di NTT. Lebih dari seperempat kasus yang dilaporkan itu berada di pusat pemerintahan NTT, yakni di Kota Kupang. Data KPK itu sejalan dengan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 yang diselenggarakan Tranparency International Indonesia (TII) yang menyebutkan Kupang sebagai kota terkorup di antara 50 kota di Indonesia yang disurvei.

Dari hasil telaah KPK, ada 13,46 persen pengaduan yang benar-benar terindikasi tindak pidana korupsi dan diteruskan kepada penegak hukum. Masih ada pengaduan yang dikembalikan ke pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan.

Indonesia Budget Center (IBC), awal Mei lalu, mengutip hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan, pada semester II tahun anggaran 2009, terdapat 1.804 temuan pemeriksaan di NTT dengan 3.305 rekomendasi atas penyimpangan anggaran daerah senilai Rp 5,29 triliun. Dari jumlah itu, ada 1.300 rekomendasi yang nilai anggarannya mencapai Rp 2,06 triliun yang belum ditindaklanjuti.

Selain itu juga ditemukan 392 kasus kerugian negara senilai Rp 76,45 miliar pada penggunaan anggaran di NTT. Dari jumlah itu ada 280 kasus yang belum ditindaklanjuti dengan pengembalian atas kerugian negara dengan nilai kerugian Rp 58,08 miliar. Padahal, jika mengacu pada pagu pemberian beasiswa bagi siswa SMA/SMK miskin di NTT tahun 2008 sebesar Rp 1,5 juta per orang dalam setahun, kerugian negara sejumlah itu bisa digunakan untuk membiayai pendidikan bagi hampir 13.000 siswa miskin hingga mereka tamat SMA/SMK.

Bencana korupsi yang melanda NTT bisa dikatakan sudah cukup kronis. Pelakunya merasuk dan tersebar di berbagai lapisan, mulai dari oknum pejabat pemda, pimpinan proyek, entitas swasta, anggota DPRD, pengurus partai politik, camat, kepala desa, bahkan hingga kepala sekolah dan guru (lihat Tabel). Aneh dan ironis saat korupsi justru terjadi di daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin mencapai 1,01 juta jiwa atau sekitar 23,3 persen dari jumlah penduduk (2009).

Di level kepala daerah, misalnya, mantan Bupati Ende Paulinus Domi dan mantan Sekretaris Daerah Ende Iskandar Mberu ditahan karena terindikasi korupsi dana APBD Ende 2005 dan 2008 senilai Rp 3,5 miliar. Di luar itu, ada sejumlah mantan bupati yang sempat tersangkut dugaan korupsi, yakni mantan Bupati Kupang Ibrahim Agustinus Medah, mantan Bupati Rote Ndao Christian Nehmia Dillak, dan mantan Bupati Timor Tengah Selatan Daniel Banunaek. Kasus Ibrahim dikabarkan telah dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Daerah NTT, kasus Christian belum diketahui kelanjutannya, sedangkan Daniel justru divonis tiga tahun penjara atas pidana perambahan hutan.

Mantan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka Pastor Frans Amanue mengungkapkan, filosofi otonomi daerah baik karena ingin mendekatkan pelayanan publik. Namun, ekses yang muncul justru virus korupsi yang menyebar di kabupaten hingga desa. Alokasi dana sulit diawasi.

Korupsi menjalar ke seluruh lapisan penyelenggara pemerintahan karena tidak ada tindakan hukum yang tegas kepada pelaku. Penegakan hukum perkara korupsi baru sebatas pada tingkatan staf dan belum menyentuh ke pejabat di pemda.

Daya rusak tindak pidana korupsi semakin terasa hebat karena sebagian mengakar hingga di lingkungan sekolah dan guru. Parahnya lagi, belum ada tindakan hukum yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya ataupun bagi aparatur yang lain.

”Guru tidak siap mengelola dana BOS (bantuan operasional sekolah) karena kurikulum di FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) tidak mengajarkan itu. Masyarakat juga belum banyak kritis mengawasi pengelolaan dana BOS,” kata anggota staf Divisi Antikorupsi PIAR NTT, Paul SinlaEloE. Menurut dia, otonomi daerah dalam pengelolaan dana dekonsentrasi pendidikan masih setengah hati.

Berdasarkan pantauan PIAR NTT, 44 persen kasus dugaan korupsi berada di bidang pemerintahan. Dari perspektif sektoral, 46,4 persen kasus korupsi ada di sektor pengadaan barang dan jasa dari pemerintah, disusul sektor APBD (34,4 persen). Tidak mengherankan jika muncul idiom baru dari NTT, yakni ”Nusa Tetap Terkorup”.

Memang tak semua pegawai di NTT terjangkiti virus korupsi. Di antara kubangan lingkungan birokrasi yang korup, ternyata masih ada pegawai yang tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk korupsi meski secara ekonomi ia masih kekurangan. Salah satunya Charles Daris (42), pegawai Dinas Koperasi Kota Kupang yang ditemui di tepian pantai di Jalan Timor Raya, Kupang, Sabtu (8/5).

Saat itu ia tengah berbincang dengan dua nelayan rekannya, Bonatus (62) dan Kornelis Pulanga (42). Charles adalah pegawai negeri yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai nelayan. ”Pagi hari sampai siang, beta kerja kantor. Sore pukul 15.00 hingga 06.00 pagi, beta cari ikan di laut,” katanya.

Sebagai pegawai golongan IID dengan gaji Rp 1,9 juta per bulan, tentu tidak akan mencukupi kebutuhan bapak empat anak itu. ”Lebih baik beta kerja sambilan jadi nelayan daripada beta harus korupsi,” katanya.

Sejak diangkat menjadi pegawai tahun 1997, ia terus memegang jabatan bendahara. Baru beberapa tahun terakhir ia melepas jabatan itu karena ingin lebih tenang. ”Kawan-kawan bilang, beta ini bendahara bodoh. Dari dulu sampai sekarang tidak juga kaya, rumah itu-itu saja. Di sini, kalau jadi bendahara yang jujur itu justru dibilang bodoh,” katanya lantas tertawa, diikuti dua rekan lainnya.

Andai semua birokrat memiliki komitmen yang sama untuk tidak melakukan korupsi seperti Charles, bisa jadi persoalan kemiskinan dan rawan pangan di NTT tidak telanjur selaten saat ini. (KORNELIS KEWA AMA - C Wahyu Haryo PS)
Sumber: Kompas, 25 Mei 2010.

PIAR Beberkan Kasus Korupsi di NTT

PIAR BEBERKAN KASUS KORUPSI DI NTT


INILAH.COM, Kupang - Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali membeberkan sejumlah kasus korupsi di daerah ini.

Sejak tahun 2006-2010 jumlah kasus korupsi di NTT sebanyak 519 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 1.393.137.138.248.

"Keseluruhan kasus yang dipantau oleh PIAR NTT pada tahun 2010 tersebar di 16 Kabupaten/Kota dan satu Provinsi yaitu NTT, Kabupaten Belu, TTU, TTS, Kupang, Kota Kupang, Rote Ndao, Alor, Sikka, Manggarai, Ende, Ngada, Flores Timur, dan Sumba Timur," kata staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT, Paul SinlaEloE, SH di Kupang, Selasa (4/10).

Kasus korupsi yang di pantau oleh PIAR NTT ini dikelompokkan dalam 13 bidang yang berkaitan dengan pelayanan publik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada tahun 2010, kasus korupsi di NTT dikelompokan dalam lima sektor yakni sektor pengadaan barang dan jasa, Sektor APBD, Sektor Dana Bantuan, Sektor Pemilukada, dan Sektor Perbankan.

Paul membeberkan, pelaku bermasalah dari ke-131 kasus korupsi yang terjadi di NTT pada tahun 2010 ini sebanyak 531 orang dan 76 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi.

Berkaiatan dengan fakta bahwa korupsi di NTT terbanyak terjadi disektor pengadaan barang dan jasa, maka ada beberapa gagasan yang dapat dilakukan. Diantaranya, membenahi kembali sistem hukum pengadaan barang dan jasa.

Pengadaan barang dan jasa selama ini hanya diatur dalam Kepres/Perpres. Didalam Keppers/Perpres kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa belum atau tidak digolongkan sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara. Karenanya dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan barang dan jasa diatur dengan Undang-Undang.

Jika diatur dengan Undang-Undang, pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana sebagi melangggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan barang dan jasa serta dapat dituduh melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sistem Pengadaan barang dan jasa yang ada telah menempatkan aparatur pemerintah (Pimpro/panitia pengadaan) hanya sebatas peran manajerial. Hal ini sesuai dengan alasan utama dilakukannya tender, yakni Keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert Skills) dari pegawai pemerintah.

"Untuk itu, kedepan harus dipikirkan untuk dibuat aturan yang mengharuskan pihak di luar pegawai pemerintah (Orang-orang yang berkualitas dan berkompeten) untuk dapat menjadi panitia tender," kata Paul. [mor]

Pembebasan Tiga Terdakwa Korupsi Dikecam

PEMBEBASAN TIGA TERDAKWA KORUPSI DIKECAM


TEMPO Interaktif, KUPANG - Lembaga Swadaya Masyarakat Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur (NTT) mengecam pembebasan tiga terdakwa kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Ende yang merugikan negara Rp 3,5 miliar.

"Kami sesalkan buruknya kinerja aparat penegak sehingga terdakwa kasus tidak pidana korupsi bisa lepas dari tahanan," kata staf Divisi Korupsi PIAR NTT Paul SinlaEloE kepada Tempo di Kupang, Selasa (8/3).

Tiga terdakwa tersebut adalah bekas Bupati Ende Paulinus Domi, bekas Sekretaris Daerah (Sekda) Ende Iskandar Mberu, dan pengusaha asal Ende, Samuel Matutina.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) NTT Rochmadi menjelaskan, ketiga terdakwa harus dikeluarkan dari Lapas Penfui Kupang karena mereka bebas demi hukum.

Terhadap terdakwa Paulinus Domi dan Iskandar Mberu, kata Rochmadi, masa tahanannya telah habis dan tidak ada perpanjangan masa penahanan. ”Kami harus mengeluarkannya dari tahanan,” katanya kepada Tempo di Kupang, Selasa (8/3).

Adapun terdakwa Samuel Matutina dikeluarkan karena adanya surat pengalihan tahananan dari Rumah Tahanan (Rutan) ke tahanan kota.

Paul menilai, dibebaskannya tiga terdakwa korupsi tersebut karena aparat penegak hukum tidak serius menanganinya. Meskipun kasusnya sedang dalam penanganan di tingkat banding atau kasasi, para terdakwa harus tetap ditahan.

"Kasus korupsi merupakan kasus luar biasa, sehingga perlakuan terhadap terdakwa juga harus luar biasa sehingga ada efek jera terhadap mereka," ujar Paul.

Paul mengatakan tidak tertutup kemungkinan adanya keterlibatan mafia peradilan dibalik pembebasan para terdakwa. Apalagi tidak ada upaya untuk memperpanjang masa penahanan terhadap terdakwa pada saat kasusnya ditangani Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Kejaksaan Tinggi NTT, Muib, mengakui tiga pelaku korupsi APBD Kabupaten Ende tahun 2005 dan 2008 itu dinyatakan lepas demi hukum. Namun proses hukumnya tetap berjalan.

"Ada dua terdakwa yang bebas demi hukum karena tidak adanya surat perpanjangan masa tahanan," papar Muib.
Menurut Muib, surat perpanjangan penahanan terhadap Paulinus Domi dan Iskandar Mberu terlambat dikirim oleh MA ke Kejaksaan Tinggi NTT.
Surat perpanjangan penahanan baru diterima kejaksaan setelah Lembaga Pemasyarakatan Penfui Kupang melepas dua terdakwa tersebut. Pihak kejaksaan memilih menunggu putusan MA. "Kami akan eksekusi dua terdakwa itu setelah ada putusan MA,” kata Muib pula.
Sedangkan pengalihan penahanan terdakwa Samuel Matutina oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kupang menjadi tahanan kota, karena Samuel sedang sakit.
Berdasarkan hasil investigasi Kejaksaan Tinggi NTT, ketiga terdakwa korupsi tersebut, saat ini berada di tempat berebeda. Iskandar Mberu diketahui sedang berada di Kabupaten Ende, Paulinus Domi berada di Kota Kupang, sedangkan Samuel Matutina sedang menjalani perawatan di Jakarta. YOHANES SEO.

Kasus Korupsi Pantauan PIAR NTT Selama 2012: Ronda Juara, Pemprov Runner Up

KASUS KORUPSI PANTAUAN PIAR NTT SELAMA 2012: Ronda Juara, Pemprov Runner Up


KUPANG, TIMEX – Provinsi NTT mendapat predikat juara satu korupsi oleh Kementerian Dalam Negeri. Untuk tingkat lokal, ‘gelar’ itu dipegang Kabupaten Rote Ndao yang memiliki jumlah kasus korupsi terbanyak selama 2012, yakni 20 kasus.

Peringkat ini merupakan hasil pantauan lembaga Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advolasi Rakyat (PIAR) NTT selama tahun 2012. “Tahun 2012 ini PIAR NTT melakukan pemantauan korupsi di 20 kabupaten/kota yang ada di NTT serta satu daerah dekonsentrasi yakni Pemprov NTT,” ungkap Paul SinlaEloE, Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT, dalam rilis akhir tahun 2012 PIAR NTT yang diterima koran ini, Senin (7/1).
Menurut Paul, daerah yang menjadi pantauan PIAR NTT adalah Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Lembata, Ende, Flores Timur, Sikka, Sumba Timur, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Minus Kabupaten Sumba Tengah.

Hasil pantauan selama 1 Januari hingga 9 Desember 2012 itu, menempatkan Kabupaten Rote Ndao menempati peringkat pertama dalam hal jumlah kasus korupsi terbanyak. Rote Ndao tercatat memiliki 20 kasus. Disusul Pemprov NTT 17 kasus, Kota Kupang 15 kasus, TTS 13 kasus, Sikka 13 kasus, Mangarai 9 kasus, Flores Timur 8 kasus, TTU 7 kasus dan Ende 7 kasus.

Sementara itu yang tergolong rendah adalah Kabupaten Kupang 5 kasus, Belu 4 kasus, dan Alor 4 kasus. Sedangkan Kabupaten Sumba Barat Daya Sumba Timur, Manggarai Barat, dan Lembata masing-masing ditemukan dua kasus. Sementara, Kabupaten Sumba Barat, Nagekeo, Manggarai Timur, Ngada dan Sabu Raijua hanya ditemukan masing-masing satu kasus.

Dengan demikian, total kasus korupsi di NTT yang tercatat PIAR NTT selama 2012 sebanyak 135 kasus. Total indikasi kerugian negara sebanyak Rp 449,8 miliar lebih. Sebagian besar dari kasus korupsi tersebut bersentuhan langsung pada sektor pelayanan publik yakni 98 kasus (73 persen). Sementara sisanya 38 kasus (27 persen) yang tidak langsung berhubungan dengan sektor pelayanan publik.

Perincian kasus per sektor adalah sosial kemasyarakatan (15), perhubungan dan transportasi (13), pendidikan (17), kesehatan (14), pemerintahan (15), keuangan daerah (16), dana bantuan (10), perikanan dan kelautan (9). Selanjutnya pertambangan/energi/kelistrikan (3 kasus), pertanian/perkebunan/peternakan (5), perumahan rakyat (2), perbankan (2), Pemilu/Pemilukada (2) air bersih (2), pajak/retribusi (1), kebudayaan dan pariwisata (3). Informatika/telekomunikasi (2), spiritual keagamaan (1), dan dana desa (3).

Pelaku bermasalah dari 135 kasus yang dipantau PIAR NTT ini, kata Paul, sebanyak 470 orang dan 39 diantaranya melakukan pengulangan tindak korupsi. Para pelakunya terbanyak duduk di lembaga dewan sebanyak 166 orang. Selanjutnya pejabat Pemda 123 orang, pelaku swasta 47 orang, panitia tender/PHO/FHO/ 19 orang, Pimpro/Benpro/PPK 12 orang, pejabat perbankan/BUMN/BUMD 12 orang, penyelenggara/pengawas Pemilu/Pilkada 8 orang, bupati/walikota 7 orang, camat/pejabat desa/pejabat kelurahan 7 orang, pelaksana proyek PNPM/dana bantuan 5 orang, wakil bupati/wakil walikota 3 orang, tim peneliti 3 orang, kepala sekolah/guru 2 orang dan 54 orang jabatan belum terekspose.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 216 orang (46 persen) status hukumnya belum ditetapkan. Sementara yang sudah jadi tersangka sebanyak 196 orang (42 persen), terdakwa 41 orang (9 persen) dan 17 orang (3 persen) sebagai terpidana dan enam diantaranya sudah in kracht. Sementara modus operandi yang digunakan para pelaku bermasalah sebagian besar adalah penyalahgunaan wewenang 36 kasus (27 persen), mark up 34 (25 persen), proyek tidak tuntas 11 (8 persen), proyek tidak sesuai bestek 10 (7 persen), penggelapan dalam jabatan 10 (7 persen).

Selain itu manipulasi laporan 7 (5 persen), pengadaan barang tidak sesuai spesifkasi 6 (4 persen), proyek fiktif 6 (4 persen), perjalanan dinas fiktif 4 (3 persen), penciptaan mata anggaran baru 4 (3 persen), penyalahgunaan wewenang 3 (2 persen), mark down 2 (2 persen) dan pemanfaatan dana tidak sesuai peruntukan dan pemerasan dalam jabatan masing-masing 1 (1 persen). (ito/aln)

DAERAH SUBUR KASUS KORUPSI DI NTT
No. Kab/Kota/Prov Jumlah Kasus
1. Rote Ndao 20
2. Pemprov NTT 17
3. Kota Kupang 15
4. TTS 13
5. Sikka 13
6. Mangarai 9
7. Flores Timur 8
8. TTU 7
9. Ende 7
10. Kabupaten Kupang 5
11. Belu 4
12. Alor 4
13. Sumba Barat Daya 2
14. Sumba Timur 2
15. Manggarai Barat 2
16. Lembata 2
17. Sumba Barat 1
18. Nagekeo 1
19. Manggarai Timur 1
20. Ngada 1
21. Sabu Raijua 1
KET.
Hasil pantauan selama 1 Januari – 9 Desember 2012, minus Kabupaten Sumba Tengah.

PELAKU BERMASALAH:
Total 135 kasus yang dipantau PIAR NTT, pelaku bermasalah 470 orang. 39 diantaranya melakukan pengulangan tindak korupsi.
1. Pelaku di Lembaga DPRD 166 orang.
2. Pejabat Pemda 123 orang
3. Swasta 47 orang
4. Panitia tender/PHO/FHO 19 orang
5. Pimpro/Benpro/PPK 12 orang
6. Pejabat Perbankan/BUMN/BUMD 12 orang
7. Penyelenggara/pengawas Pemilu 8 orang
8. Bupati/walikota 7 orang
9. Camat/pejabat desa/pejabat kelurahan 7 orang
10. Pelaksana proyek PNPM/bantuan 5 orang
11. Wakil bupati 3 orang
12. Peneliti 3 orang
13. Kepala Sekolah/guru 2 orang
14. Jabatan belum terekspose 54 orang
SUMBER. PIAR NTT

LSM: Banyak Kasus Dugaan Pembunuhan yang Tak Tuntas di NTT

LSM: BANYAK KASUS DUGAAN PEMBUNUHAN YANG TAK TUNTAS DI NTT


KUPANG, KOMPAS.com -- Pengungkapan terkait kasus pembunuhan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) nasibnya kian tak jelas. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, mencatat sedikitnya ada empat kasus besar terkait pembunuhan yang tersebar di beberapa kabupaten, yang penanganannya masih terkatung-katung.

“Terdapat sejumlah kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik berkaitan dengan proses penegakan hukumnya. Ironisnya, kasus-kasus ini sampai dengan sekarang belum mampu diungkap oleh aparat penegak hukum secara tuntas,” ungkap Staf Divisi Antikorupsi PIAR NTT, Paul SinlaEloE, kepada Kompas.com, Minggu (27/10/2013).
“Kasus-kasus dimaksud adalah Kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Flores Timur, Kasus pembunuhan Paulus Usnaat di ruang tahanan Polsek Nunpene di Timor Tengah Utara (TTU), Kasus Pembunuhan Obadja Nakmofa di Kota Kupang dan Kasus pembunuhan Deviyanto Nurdin Yusuf di Maumere, Kabupaten Sikka,” beber Paul.

Hasil Investigasi PIAR NTT, lanjut Paul, menunjukkan bahwa terdapat sejumlah indikasi keganjilan dalam pengungkapan keempat kasus tersebut.

Ia pun mencontohkan kasus kematian Yohakim Atamaran pada 2007 lalu. Dalam keterangannya, ujar Paul, Kapolres Flores Timur sempat menyimpulkan bahwa korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas, padahal dalam penyelidikan dan penyidikan telah disampaikan kepada publik bahwa kasus tersebut adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti.

Dalam perkembangannya, saksi mahkota malah menarik keterangannya dan kasus ini pun dinyatakan tak bisa dilanjutkan. “Begitu juga dengan kematian Paulus Usnaat di TTU, 2008 lalu. Kapolres TTU menyimpulkan bahwa korban meninggal bukan karena dibunuh, tapi bunuh diri. Padahal, pihak penyidik dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam kerja-kerja penyidikan, pihak Polres TTU telah menemukan lima alat bukti. Dalam perkembangannya pihak Kejaksaan menyuruh penyidik Kepolisian mencari saksi lain di luar tersangka dan hal ini menyulitkan proses penyidikan dan kasus ini menjadi terkatung-katung,” beber Paul.

Pada kasus kematian Deviyanto Nurdin bin Yusuf pada tahun 2009 pun demikian. Kapolres Sikka telah menyimpulkan korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas tunggal. Hal ini sangat aneh karena pada awalnya pihak Kepolisian telah menyataan bahwa kasus ini adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. “Dalam perkembangannya dokter ahli forensik yang mengotopsi jenazah korban Nurdin, mencabut keterangannya tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, alat bukti pun dinyatakan kurang dan akhirnya Reskrim Polda NTT mengeluarkan SP3,”jelasnya. Sementara itu untuk kasus pembunuhan lainnya yakni anggota polisi Brigpol, Obadja Nakmofa, pada tahun 2012 sampai saat ini pihak kepolisian masih melengkapi berkas perkara untuk di limpahkan kembali ke pihak Kejaksaan. Salah satu kesulitan pihak kepolisian untuk memenuhi tuntutan pihak Kejaksaan adalah pihak kepolisian harus melampirkan barang bukti berupa pisau yang digunakan untuk membunuh Obaja Nakmofa. Karena Barang Bukti berupa pisau belum bisa ditemukan oleh tim penyidik Polda NTT, maka penanganan kasus ini pun akhirnya terkatung-katung.

“Komponen sistem hukum yang harus dibenahi adalah substansi hukum, dalam hal ini norma-norma hukum berupa peraturan dan keputusan yang dihasilkan dari produk hukum. Selanjutnya, struktur hukum yakni kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum. serta, Budaya Hukum, dalam hal ini Perangkat tradisi, suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,”pungkasnya.

Gairah dalam Kemiskinan NTT

GAIRAH DALAM KEMISKINAN NTT



Selama 10 tahun terakhir, sejak tahun 2002, telah ditemukan 151 kasus korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekitar 545 pelaku terlibat, tapi hanya sebagian kecil dihukum. Terkesan ada upaya saling melindungi antara pelaku koruptor dan aparat penegak hukum sehingga kasus korupsi pun menghilang.

Sebanyak 151 kasus korupsi itu sempat dipublikasi media massa. Namun, sebagian besar kemudian hilang tanpa bekas. Alasan yang dikemukakan kejaksaan atau kepolisian adalah tidak ada bukti kuat tindak pidana korupsi. Itu belum termasuk kasus korupsi yang tertutup rapi.

Pelaksana Harian Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur (NTT) Paul SinlaEloE di Kupang, akhir Agustus lalu, mengatakan, dari 545 pelaku tadi, sebanyak 76 pelaku dua kali melakukan tindak pidana korupsi. Total nilai kerugian negara akibat 151 kasus korupsi itu mencapai lebih dari Rp 200 miliar.

”NTT masuk lima besar nasional korupsi. Daerah lain juga tinggi, tetapi dibanding kesejahteraan masyarakat, NTT paling buruk, yakni urutan ke-33 dari 33 provinsi. Pejabat di sini tidak punya perasaan dan hati nurani melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme di tengah kemiskinan yang terus mendera rakyat,” kata Sinlaeloe.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, menjelaskan, kasus-kasus korupsi, antara lain, dana sarana kesehatan (sarkes) RSUD Johannes Kupang (2002) senilai Rp 15 miliar, penggelembungan harga pengadaan 60 tempat tidur di RSUD Johannes Kupang (2012) senilai Rp 85 juta per unit, perjalanan dinas di Flores Timur sekitar Rp 10 miliar (2012), pungutan Rp 1 juta per desa bagi 185 desa di Flores Timur untuk proposal peningkatan dana desa senilai Rp 1 miliar ke Mendagri (2012).

Dana pendidikan luar sekolah senilai Rp 77 miliar (2007) dan pembelian traktor tangan bagi petani senilai Rp 8 miliar (2011), serta dana bantuan operasional DPRD provinsi dan kabupaten/ kota (periode 1999-2004) senilai Rp 16,5 miliar, korupsi dana pendidikan di Timor Tengah Utara (TTU) Rp 13 miliar (2012), dan pungutan dana perbaikan ruang kelas Rp 50 juta oleh anggota DPRD TTU.

Dana batuan sosial (bansos) provinsi ataupun kabupaten/kota (2010-2011), terindikasi KKN dengan total nilai mendekati Rp 100 miliar. Di Kabupaten Sikka, kasus bansos yang merugikan negara sekitar Rp 19,7 miliar itu diduga melibatkan bupati setempat Sosimus Mitang. Namun, yang diproses hukum hanya sejumlah pejabat kecil.

Awal tahun 2011, BPK NTT menyebutkan terjadi kesalahan administrasi dalam pengelolaan dana bansos dan meminta instansi bersangkutan memperbaiki. Namun, hingga kini, perbaikan tidak pernah tuntas dan tidak pernah ada tindak lanjut.

”Dana itu untuk pasang iklan dukacita, beli peti jenazah, dan karangan bunga bagi orang mati, perjalanan dinas, carter pesawat, pembangunan lift dan plafon rumah sakit, serta kunjungan kerja DPRD ke konstituen. Semua dilakukan tanpa kuitansi atau proposal. Siapa yang bertanggung jawab,” kata Helan.

PIAR NTT mencatat 151 kasus korupsi di NTT, tetapi pelaku tidak dibawa ke penjara, kecuali mantan Bupati Ende Paulus Domi, Sekda Ende Iskandar Mberu, dan Sekda Kota Kupang Abde Habel. Lalu korupsi pejabat pemprov tak diproses, kecuali bawahan seperti korupsi dana sarkes (2002), dua anggota staf di dinas kesehatan provinsi masuk penjara. Penggagas dan otak di balik itu tidak tersentuh hukum.

Jadi gaya hidup
Korupsi menjadi gaya hidup, mulai dari ketua RT/RW (penjualan beras untuk orang miskin) sampai pimpinan kepala daerah atau pejabat vertikal (dana APBD dan dana APBN). Gaya hidup pejabat, termasuk keluarganya, mendadak berubah.

Sejumlah rumah mewah bernilai Rp 300 juta-Rp 2 miliar pun bertebaran di beberapa kota, bahkan sampai di kampung asal pejabat dan anggota keluarga. Masyarakat tahu, tetapi memilih diam. Melapor ke aparat penegak hukum juga sama, bahkan pelapor dijadikan tersangka.

Korupsi pun terus menggairahkan. Pelaku selalu bebas dan aman dari proses hukum. Mereka bersembunyi di balik kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Bahkan kemiskinan itu diduga sengaja dirawat guna menarik dana pusat untuk dikorup.

Total daftar isian proyek anggaran (DIPA) 2012 senilai Rp 22 triliun terdiri dari APBD, perbantuan, dana dekonsentrasi, dan lainnya. Tahun 2011, total DIPA Rp 12 triliun dan tahun 2010 Rp 10 triliun. Jumlah dana meningkat, tetapi rakyat tetap miskin.

Sementara itu, dana sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) tetap jadi kebanggaan, dengan alasan hemat anggaran. Tahun 2009 total silpa Rp 200 miliar, tahun 2010 Rp 120 miliar, dan tahun 2011 Rp 145 miliar. Dana ini diparkir di sejumlah bank di Kupang.

Kasus pemecatan Direktur Pemasaran Bank NTT Ibrahim Imang Juni 2012 menyisakan soal. Imang menolak perintah lisan pemprov mengucurkan dana Rp 70 miliar kepada seorang pengusaha dari Surabaya yang ingin membangun hotel milik pemda di Lasiana Kupang. Dia beralasan, perintah lisan tidak memiliki dasar hukum kuat.

Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi NTT Jemmy Tirayudi mengaku, kejaksaan telah bekerja maksimal memberantas korupsi. Tahun 2011, 46 korupsi ditangani kejaksaan. Kejati menangani delapan kasus, dua kasus di antaranya sudah diputus, yang lain dalam proses. Tahun ini, Kejati menangani enam kasus, satu kasus sudah diputus.

”Tidak benar, kejaksaan tidak bekerja serius menangani kasus korupsi. Sudah banyak kasus diproses ke pengadilan,” ujar Tirayudi. (KORNELIS KEWA AMA).
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Pertemuan antara para saudagar dengan para pekerja politik, biasanya diakhiri dengan persekongkolan untuk melawan kepentingan publik dan atau permufakatan jahat untuk mengangkangi hak politik rakyat, demi lestarinya dinasti politik...

POPULER MINGGU INI:

AKTIVITAS
 BUKU: PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BUKU: MEMAHAMI SURAT DAKWAAN