Para jurnalis dan
aktivis anti korupsi buat diskusi memberantas korupsi dana publik. Terbersit
pesimisme karena publikasi media gagal mendorong pelaku korupsi dibawa ke
pengadilan.
Di sebuah ruang
ber-AC di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah, Sabtu pekan lalu para wartawan
dan aktivis anti korupsi mendiskusikan keterlibatan mereka melawan korupsi,
yang oleh beberapa kritisi menilai bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi berada
di bawah meja ataupun di atas meja, tetapi mejanya sekaligus dikorupsi.
Tampaknya para
wartawan yang sering belepotan keringat di lapangan tak terlalu betah dengan
pendingin ruangan, yang telah dibuka sejak semalam sebelumnya. Belum berapa
lama diskusi dimulai, AC dimatikan dan jendela dibuka. Sebentar saja ruang
dipenuhi asap rokok. Yang tak merokok harus sesuaikan diri.
Diskusi ini digelar
Yayasan Pantau, sebuah lembaga nirlaba berbasis di Jakarta, bekerja sama dengan
Persatuan Wartawan Flores (PWF) dan Harian Umum Flores Pos. Diskusi dengan tema
“Anggaran Publik, Sumber Korupsi?’ menurut Koordinator Pantau di Ende Ahmad
Yunus akan menjadi kesempatan syering di antara para jurnalis dalam meliput
korupsi, sekaligus ajang saling belajar bagaimana mengawasi penggunaan anggaran
publik oleh pemerintah dan oleh berbagai pihak yang ikut terlibat mengelola
dana publik.
Paul SinlaEloE dari
PIAR, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kupang, mengantar diskusi. Sebuah
makalah kecil tujuh halaman, “Korupsi dalam Pengelolaan Anggaran Publik”
dibagikan ke peserta.
Di situ Paul
membeberkan temuan BPKP Provinsi NTT jumlah dana yang terindikasi diduga
“dikorupsi” yang belum dikembalikan ke kas negara. Data selama periode
2003-2007 yang dipublikasikan 30 Mei 2007, terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi
dengan kerugian negara sebesar Rp50.061.226.820. Kasus yang sudah
ditindaklanjuti 1.080 kasus dengan nilai kerugian Rp32.437.826.139. Sedangkan
887 kasus dengan nilai kerugian negara Rp17.633.400.680, yang tersebar di 16
kabupaten/kota di NTT belum diselesaikan.
Jika dirincikan per
kabupaten/kota, tertinggi di tingkat provinsi terdapat 239 kasus dengan
indikasi kerugian negara Rp5.007.695.849; Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
jumlah kasus 73 tetapi kerugian negara Rp2.177.528.592; Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) 109 kasus dengan kerugian negara Rp1.984.437.629; Kabupaten Sikka
jumlah kasus 57 dengan kerugian negara Rp1.522.773.445; Kabupaten Manggarai 37
kasus dengan kerugian negara Rp1.445.318.081; Kabupaten Alor 51 kasus dengan
kerugian negara Rp1.189084.790; Kabupaten Lembata 33 kasus dengan kerugian
negara Rp958.446.407; Kabupaten Kupang jumlah kasus 33 dengan kerugian negara
Rp682.379.281;
Kabupaten Sumba Timur 28 kasus dengan kerugian negara
Rp641.508.991; Kabupaten Ende 45 kasus dengan kerugian negara Rp515.958.050;
Kabupaten Belu 43 kasus dengan kerugian negara Rp305.431.079; Kabupaten Sumba
Barat 46 kasus dengan kerugian negara Rp248.128.986; Kabupaten Ngada 22 kasus
dengan kerugian negara Rp208.943.786; Kabupaten Flores Timur 23 kasus dengan
kerugian negara Rp200.751.733; Kabupaten Kota Kupang 29 kasus dengan kerugian
Rp199.978.348; Kabupaten Rote-Ndao 16 kasus dengan kerugian Rp199.250.808;
Kabupaten Manggarai Barat 3 kasus dengan kerugian Rp155.781.841. Total indikasi
kerugian sebesar Rp17.623.400.700.
Meski angka
korupsinya ada, begitu Paul bilang, tapi tidak ada koruptor yang masuk penjara.
Bagi jurnalis dan
aktivis anti korupsi, penguasaan data korupsi itu penting. Bila jurnalis dan
aktivis anti korupsi mau mengawasi penggunaan anggaran publik agar tidak
dikorupsi, penting bagi mereka mengetahui titik-titik rawan di mana korupsi
bisa terjadi dalam penggunaan anggaran publik.
Secara konseptual,
ada tiga komponen utama yakni tahap perencanaan meliputi 18 tahapan di
antaranya mulai dari penjaringan aspirasi masyarakat, musyawarah perencanaan
pembangunan desa hingga musyawarah di kabupaten, penetuan strategi dan
prioritas serta arah kebijakan umum APBD hingga sampai di satuan pemegang kas;
tahap pelaksanaan mencakup 6 aktivitas yaknis asistensi DASK, penyerahan DASK,
pembentukan panitia dan proses tender, kontrak/konstruksi, perubahan APBD,
PHO/FHO; dan pelaporan mencakup 4 tahapan yakni monitoring, rapat koordinasi
dan evaluasi, pelaporan, dan berita acara penyerahan kegiatan. Tiap tahapnya
berpotensi terjadi tindakan korupsi dengan modus yang variatif.
Jika kemudian para
jurnalis dan aktivis anti korupsi mau ikut berperan aktif melawan korupsi, maka
penting selain menguasai data tetapi juga membangun jaringan kerja baik di
dalam lembaga birokrasi maupun di luar lembaga birokrasi.
“Kita percaya bahwa
masih ada orang di dalam birokrasi yang baik yang bersedia memberikan data
korupsi kepada kita. Data-data itu biasanya valid dan pelaku tidak bisa
berkelit,” kata Paul.
Data dari orang
dalam, kira-kira begitu, adalah salah satu cara membongkar korupsi dari dalam.
“Data orang dalam ini” jauh lebih valid jika dibandingkan dengan data-data yang
diberikan BPKP.
Dalam banyak kasus,
kata Benny R Hendrik dari Expo NTT, data BPKP tidak bisa dijadikan data tunggal
yang bisa menjerat koruptor untuk dibawa ke pengadilan. Hal yang sama
disampaikan anggota Komisi B DPRD Ende Yustinus Sani. “Kita mesti memiliki data
pembanding, yang bisa kita dapat dari orang dalam,” katanya.
Dalam kasus korupsi,
auditor BPKP jadi saksi ahli tapi dalam banyak hal pula kehadiran saksi ahli
justru sering membebaskan pelaku dengan menyebut data korupsi yang tercantum
dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP hanyalah kesalahan administratif
pelaporan. Auditor tidak lagi menjadi perangkap untuk menangkap pelaku, tetapi
justru membebaskannya.
Dalam diskusi ini
yang dipandu Pastor Charles Beraf SVD, pentingnya membentuk jaringan
memberantas korupsi dianggap akan dapat membantu para jurnalis dan aktivis anti
korupsi saling memberikan data dan membagi teknik memasukkan koruptor ke dalam
perangkap hukum.
Tetapi terbersit pula
pesimisme di kalangan jurnalis bahwa mereka hampir saja “kehabisan” tinta dan
kertas untuk menulis kasus korupsi. Amat sukar mendorong kasus korupsi dibawa
ke pengadilan.
Kalau di kalangan
jurnalis, ada keinginan membentuk jaringan untuk saling memberikan data dan
mendorong kasus korupsi dibawa ke pengadilan, di kalangan elite juga sudah lama
membentuk jaringan yang memacetkan bola salju korupsi itu menggelinding ke meja
hijau. Kasus-kasus korupsi yang pelakunya adalah pejabat daerah terkesan tidak
tersentuh atau terhenti di tengah jalan atau bolak balik antara kepolisian dan
kejaksaan. Lalu, pada akhirnya kasus itu di-SP3-kan (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan/SP3). Hubungan erat antara elite kekuasaan dan elite penegak hukum
ikut memperkuat jaringan yang memacetkan kasus korupsi digelindingkan ke
pengadilan.
Pada masa Orde Baru
Soeharto, forum Muspida yang tetap hidup sampai sekarang tidak saja jadi tempat
koordinasi tugas antarpimpinan pemerintahan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan Komandan Distrik Militer (Kodim), tetapi juga menjadi tempat saling menjaga
dan saling membantu memenuhi kebutuhan antarinstansi. Caranya variatif mulai
dari memenuhi segala urusan instansi, perbaikan rumah dinas, hingga sampai ke rekening
pribadi.
Dari bisik-bisik di
belakang pintu dengan wartawan oleh aparat penegak hukum di tingkat bawahan
diketahui bahwa atasan mereka seringkali ikut memberi andil terhadap lepasnya
pelaku korupsi dari jeratan hukum. Aparat di tingkat bawah sudah punya komitmen
menuntaskan satu kasus korupsi, tetapi mereka tiba-tiba mendapat telepon dari
atasan. Ini dimungkinkan oleh lobi-lobi pelaku dan jaringannya ke tingkat yang
lebih tinggi, sehingga “bola” dismash saja dari atas dan langkah aparat bawahan
terhenti.
Data-data BPKP juga
susah dijadikan data yang bisa menjerat koruptor. Apalagi data-data dari
Banwas, karena tergantung pada bupati. Ini tentu saja berkaitan dengan
regulasi, yang mengatur bahwa uang yang disalahgunakan baik oleh karena
kekeliruan administratif maupun karena jumlahnya kecil dikembalikan ke kas
negara tanpa melalui proses hukum. “Kesalahan administratif” inilah yang bisa
menyelamatkan muka dan membebaskan pelaku korupsi dari jeratan hukum. Karena
itu peserta diskusi mengatakan penting juga jurnalis mengawasi kinerja auditor.
Pesimisme menulis
kasus korupsi di kalangan jurnalis juga muncul oleh adanya fakta bahwa sering
pula oknum-oknum penegak hukum tertentu menjadikan berita kasus korupsi sebagai
alat untuk menekan pelaku menyelesaikan kasus korupsi di balik pintu.
Dengan koran di
tangan, orang-orang ini bertemu pelaku dan “menyelesaikannya” melalui cara-cara
yang telah mereka sepakati bersama. Karenanya media merasa pemberitaan mereka
hanyalah alat di tangan orang-orang tertentu untuk menekan dan menakut-nakuti
pelaku. Karena itu juga seperti kata Paul SinlaEloE dari PIAR bahwa orang tidak
lagi malu namanya disebutkan di koran sebagai pelaku korupsi.
Ini juga berakar di
dalam budaya kita. Seperti dikatakan Pemimpin Redaksi Flores Pos Frans
Anggal, kita hanya merasa malu (shamed culture) kalau perbuatan korupsi itu
diketahui orang lain, tetapi masyarakat kita tidak punya budaya merasa bersalah
(guilt culture). Kecuali, kata dia, aparat penegak hukum kita menggunakan
perangkat hukum dengan pembuktian terbalik. Karena kelemahan inilah, pers bisa
digugat balik dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Apalagi biasanya aparat
hukum proaktif menangani kasus pencemaran nama baik, sementara kasus korupsinya
terunda-tunda sampai pejabat berikutnya datang.
Yang terjadi
sekarang, lanjutnya, kita juga tidak bisa mengandalkan aparat penegak hukum,
“karena kucing yang mau menangkap tikus adalah juga tikus berwajah kucing”.
Beruntung diskusi ini
tidak sampai bolak balik apakah korupsi ini disebabkan oleh kelemahan regulasi
atau kelemahan moral. Kalau oleh karena kelemahan regulasi, korupsi menjadi
balon yang digantung jauh di atas kepala tak terjangkau tangan. Kalau oleh
karena kelemahan moral, maka akan dengan mudah kita jatuh pada solusi perlunya
meningkatkan ibadat atau sesering mungkin mendengar kotbah atau ceramah agama
sebagaimana muncul pula dalam diskusi. Faktanya memang adalah pelaku rajin
beribadat dan menggunakan simbol-simbol agama.
Ketua Persatuan
Wartawan Flores (PWF), Hiero Bokilia dari Flores Pos mengatakan, masalahnya
justru di penegak hukum. Ketika koran memberitakan kasus korupsi, mereka
menangkap peluang tersebut dan menuju ke sumber korupsi. Setelah mereka dapat
data, mereka diam.
“Saya jenuh menulis
kasus korupsi. Berkali-kali saya menulis. Ada jaringan di sini. Para koruptor
itu punya uang dan kalau dia sudah kasih, kasusnya putar-putar di antara mereka
saja. Kalau terus menerus bolak balik, ya di-SP3-kan,” kata Benny R Hendrik
dari Expo NTT.
Para jurnalis dan
aktivis anti korupsi sepakat bahwa sesering mungkin mereka membuat pertemuan
untuk saling menukar informasi dan data.
Yustinus Sani
menekankan hal ini. “Kalau kasus korupsi itu muncul dari laporan hasil
pemeriksaan (LHP) BPKP, tak akan pernah masuk. Karena mekanisme kerja BPKP itu,
mereka datang ambil data rekap yang diberikan oleh objek terperiksa,” kata
Sani.
Jaringan perlu dibangun untuk menyuplai informasi, kata Sani. Namun dia
mengingatkan pula agar “Jangan sampai data-data korupsi yang diberikan
dijadikan ATM”. (FRANS OBON).
SUMBER: Flores Pos | Feature | Korupsi |24 Mei 2008 |