PEKERJA BANDARA REKRUT 1.573 TKI SECARA ILEGAL
https://regional.kompas.com/read/2016/09/01/20190091/Pekerja.Bandara.Rekrut.1.573.TKI.secara.Ileg?page=all, Kamis 1 September 2016
KUPANG, KOMPAS — Pekerja alih daya (outsourcing) di
Bandara El Tari, Kupang, Yohanes Rindi (34), sejak Januari 2015 hingga Juli
2016, secara ilegal merekrut 1.573 tenaga kerja Indonesia asal Nusa Tenggara
Timur. Ia menghimpun uang Rp.1,6 miliar dari hasil kejahatannya itu.
Setidaknya ada tujuh
kelompok jaringan besar yang dibentuk Yohanes Rindi. Mereka merekrut calon
tenaga kerja Indonesia secara tersembunyi di 22 kabupaten dan kota di NTT.
Jaringan Rindi menyebar sampai ke tingkat RT dan RW sehingga aparat kepolisian
butuh waktu cukup lama untuk mengungkap kasus itu.
Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Kepolisian Daerah NTT Ajun Komisaris Besar Jules Abraham Abast, di
Kupang, Rabu (31/8), mengatakan, dari 1.573 TKI yang direkrut itu, sebanyak 200
orang telah diidentifikasi penyidik Polres Kota Kupang dan Polda NTT.
Identifikasi menyangkut nama TKI, daerah asal, orangtua, tempat dan tanggal
lahir, kartu tanda penduduk (KTP), dan cara mendapatkan KTP.
"Rindi bekerja sama
dengan PT Cut Sari Asih Cabang Medan, Sumatera Utara," kata Abast.
Ia mengungkapkan, Rindi
adalah pekerja alih daya PT Angkasapura Suport yang direkrut sejak 2014. Namun,
ia juga dikenal sebagai agen perekrut TKI yang dijalankan sejak awal Januari
2015 hingga Juli 2016. Dalam kurun waktu itu, ia bersama jaringannya mengirim
1.573 TKI ke luar NTT. Dari kiprahnya itu, ia mengumpulkan uang Rp.1,6 miliar.
Menurut Abast, 13 orang
ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Rindi. Mereka ditahan di tahanan Kantor
Polres Kota Kupang, Polda NTT, dan Polres Kabupaten Kupang. Mereka ditahan
tersebar karena ruang tahanan terbatas dan menghindari dugaan persekongkolan di
antara mereka dalam proses penyidikan.
Ungkap Tuntas
Ketua Komisi V DPRD NTT
Winston Rondo meminta kasus itu harus diungkap sampai tuntas. Selain pelaku
perekrutan yang ada di NTT, perusahaan perekrut dan agen-agen perekrut di luar
NTT, termasuk Malaysia, harus dibongkar. Penangkapan dan proses hukum terhadap
para pelaku diharapkan dapat membuat efek jera bagi mereka.
"Dalam delapan bulan
terakhir, 27 TKI ilegal asal NTT meninggal di Malaysia atau rata-rata setiap
bulan tiga orang. Jumlah ini terdata resmi di Balai Pelayanan Penempatan dan
Perlindungan TKI (BP3TKI) NTT. Itu belum termasuk TKI yang dikirim secara
diam-diam, tanpa pengetahuan BP3TKI," kata Rondo.
Ketua Divisi Hukum dan
Perdagangan Manusia Yayasan Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat NTT, Paul
SinlaEloE, mengemukakan kasus kematian Adolfina Abuk (23), warga Kabupaten
Timor Tengah Utara pada Mei 2016, dan Yufrinda Selan (20), warga Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Juni 2016. Mereka meninggal secara tak wajar di Malaysia.
Jenazah mereka dikirim ke kampung halaman dengan sebagian organ tubuh hilang.
Kasus itu, menurut Paul,
seharusnya diproses sampai di tingkat pengadilan. Kedua korban direkrut oleh orang
berinisial JP dan AS. Keduanya pernah dipanggil dan diselidiki penyidik
Kejaksaan Tinggi NTT. Namun, berkas perkara mereka dikembalikan dengan alasan
belum memenuhi unsur formil dan materiil.
"Tiga kali jaksa
mengembalikan berita acara pemeriksaan (BAP) keduanya kepada polisi dengan
alasan belum memenuhi unsur hukum. Beberapa kali kepolisian menahan dan
membebaskan kedua pelaku dengan alasan masa penahanan selesai. Sebaiknya dua
lembaga ini menggelar perkara bersama untuk memperjelas status hukum JP dan
AS," kata Paul.
Kegiatan kedua orang itu
terkait perdagangan manusia di NTT, ungkap Paul, menjadi rahasia umum di daerah
itu. Selain JP dan AS, ada pula perekrut lain, seperti laki-laki berinsial EL.
Kasus EL pernah ditangani penyidik Polda NTT, tetapi kemudian dibebaskan dengan
alasan tidak cukup bukti.
Mereka, lanjut Paul, masih
merekrut TKI secara ilegal dan diduga telah membangun jaringan baru.
"Masyarakat dan relawan
siap membantu polisi dan jaksa untuk mengungkap kasus perdagangan manusia NTT
sampai tuntas. Pengungkapan terlalu berlarut-larut meskipun pemerintah daerah
sudah membentuk satuan tugas penanggulangan perdagangan manusia, yang
melibatkan berbagai unsur, termasuk polisi dan jaksa," ujarnya. (KOR)