RANHAM PERLU MENJADI SISTEM
DALAM PELAKSANAAN KEWAJIBAN DAN PELAYANAN
PEMRINTAH PROVINSI NTT
https://elsam.or.id/riset-implementasi-ranham-3-ranham-perlu-menjadi-sistem-dalam-pelaksanaan-kewajiban-dan-pelayanan-pemrintah-provinsi-ntt/,
Jumat,
ELSAM-Kupang. Pasca
reformasi, upaya peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan
dan penegakan HAM di Indonesia dituangkan dalam kebijakan Rencana Aksi Nasional
HAM (RANHAM).
Tujuannya tidak lain menyamakan persepsi tentang pelaksanaan
strategi rencana aksi di daerah. Meskipun demikian, kebijakan RANHAM yang telah
dilaksanakan di berbagai era pemerintahan belum sepenuhnya menjadi representasi
keberhasilan penegakan HAM di Indonesia. Sejumlah persoalan mulai dari bentuk
dan desain kebijakan perlu ditelaah lebih lanjut untuk menakar implementasi
RANHAM sebagai alat percepatan pemenuhan HAM yang diharapkan.
Selama
periode 4 – 8 Juni 2018, Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM)
melakukan kajian terkait implementasi RANHAM di Kota Kupang dan Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Dalam proses pengumpulan data, sebanyak 10 narasumber
diwawancarai mulai dari organisasi perangkat daerah (OPD), lembaga swadaya
masyarakat lokal, hingga akademisi.
Pengumpulan data difokuskan pada penggalian
informasi mengenai RANHAM bentuk capaian hingga menguraikan hambatan-hambatan
dalam implementasinya. Hal ini juga dimaksudkan untuk melihat fokus isu di Kota
Kupang dan NTT kaitannya dengan yang dapat dilakukan melalui kebijakan RANHAM
KiriKe Kanan: Ariantje Komile (Perwakilan Kanwil Kumham NTT), Lintang Setianti (Peneliti ELSAM) dan Mercy Djone (Perwakilan Kanwil Kumham NTT) |
Menurut
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT, Wayan Darmawan
menyebutkan selama ini implementasi RANHAM fokus pada persiapan pelaporan.
Padahal yang diharapkan menjadi sebuah sistem dalam pemerintahan.
“Desain
kebijakan ini tidak termasuk dalam sistem pemerintahan sehingga sulit
koordinasinya. RANHAM selama ini fokus pada pelaporan saja namun belum berkaitan
dengan RPJMD” jelas Wayan.
Menurutnya,
diperlukan instrumen lain untuk membedah RANHAM sebagai pedoman lainnya, hal
ini ditujukan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sistem yang melibatkan
tidak hanya pemerintah daerah melainkan masyarakat sipil.
Menurut
Mercy Djone, perwakilan dari Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi
NTT (Kanwil Kumham NTT) sebenarnya 5 aksi RANHAM bisa menjadi alat melihat
persoalan yang terjadi di NTT.
“Dari
laporan-laporan aksi RANHAM tersebut kita bisa melakukan assessment atau penilaian
sehingga mampu memberikan rekomendasi kebijakan pada pemerintah daerah dalam
menyikapi persoalan yang nampak” jelas Mercy.
Meskipun
demikian, menurut Martha, perwakilan dari Kepala Sub Bagian HAM, Biro Hukum
Provinsi NTT menyebutkan kegiatan implementasi RANHAM fokus pada pelaporannya.
Tidak sampai pada pembahasan dan rekomendasi atas persoalan yang dilaporkan.
“Selama
ini Biro Hukum akan mengingatkan pemerintah kota dan kabupaten untuk segera
melaporkan implementasi RANHAM melalui sistem yang dibangun oleh KSP (Kantor
Staf Kepresidenan – red). Meskipun
demikian, untuk tindak lanjut dari pembahasan laporan atau rujukan dari KSP.”
Jelas Martha.
Paul
SinlaEloE, peneliti dari Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan
Advokasi Raktar (PIAR NTT) menilai bahwa persoalan utama dari implementasi
RANHAM adalah kewenangan administrasi. Mengingat sekretariat bersama ini
terdiri dari beragam dinas dan institusi terkait.
“Perlu
ada pembahasan lebih lanjut baik di tingkat pusat maupun juga daerah untuk
membahas kewenangan administrasi. Misalnya terkait institusi dari pusat seperti
Kanwil Kumham yang sifat koordinasinya dari pusat dengan Pemerintah Daerah yang
secara kewenangan wilayah untuk membentuk program. Harus ada kejelasan
kewenangan dan garis koordinasi.” jelas Paul.
Selain di Kota Kupang
dan Provinsi NTT, penelitian ini juga dilaksanakan di 5 daerah lainnya yakni
DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa
Tengah. Studi ini memberikan perhatian pada implementasi RANHAM daerah pada
level provinsi (dan ibukota provinsi) dan keterkaitannya dengan persoalan di
tingkat pusat. (Lintang Setianti)