DPD RI MINTA BPK
AUDIT KASUS SARKES NTT
http://sergapntt.mlblogs.com/2011/08/08/dpd-ri-minta-bpk-audit-kasus-sarkes-ntt/,
Senin, 8 Agustus 2011
SERGAP
NTT ONLINE: Terkuaknya penetapan surat
pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) oleh Polres Kupang Kota untuk
tersangka kasus tindak pidana korupsi sarana kesehatan (sarkes) Dinas Kesehatan
Provinsi NTT, Stef Bria Seran, kian memantik reaksi publik.
Tak hanya lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang mengeritik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pun
bereaksi.
Anggota DPD RI asal NTT,
Sarah Lerry Mboeik, Jumat (5/8) kemarin, menegaskan dirinya siap bersurat ke
BPK RI untuk melakukan audit investigasi terhadap sejumlah pengakuan tersangka
Karel Yani Mboeik di media massa. Menurut Lerry-sapaan akrab mantan pegiat LSM
itu, pengakuan Yani Mboeik perlu direspon karena yang bersangkutan tahu persis
kasus korupsi senilai Rp 14,9 miliar tersebut.
Lerry menegaskan, dirinya
sudah melakukan konsep surat yang meminta BPK RI segera melakukan audit
investigasi guna menemukan kejanggalan-kejanggalan seperti yang diungkapkan
Yani. “Paling lambat Senin sudah saya bawa ke BPK RI,” tandasnya kemarin.
Disebutkan, selain uang Rp
1 miliar yang disebut Yani berasal dari Frans Lebu Raya, juga masih ada
pernyataan bahwa uang sebanyak Rp 5 miliar dibagi-bagikan kepada anggota DPRD
NTT Periode 1999-2004 kala itu. “Jadi kita minta BPK ungkap ini melalui audit
investigasi,” tambah Lerry.
Lerry juga mendesak
kepolisian, dalam hal ini Polres Kupang Kota agar tidak gamang dalam memroses
kasus ini. Pasalnya, kata Lerry, kasus korupsi adalah bukan delik aduan,
sehingga polisi menunggu pengaduan dari masyarakat. Korupsi, menurutnya, adalah
delik khusus di mana seharusnya polisi lebih proaktif untuk mencari
bukti-bukti.
Oleh karena itu, dia
meminta Polres Kupang Kota agar tidak ‘menggelapkan’ lagi kasus ini. Karena
kasus korupsi, kata Lerry, merupakan extraordinary crime yang perlu ditangani
serius. “Penyidik tidak boleh menunggu aduan dari masyarakat, karena korupsi
bukan delik aduan. Korupsi adalah delik khusus yang perlu ditangani serius.
Polisi harus turun mencari bukti-bukti, bukan menunggu,” tegas Lerry.
Sementara itu, staf Divisi
Hukum Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Paul SinlaEloE,
kemarin, mempertanyakan vonis terhadap terdakwa Sandra Lumi, kuasa direktur
Firma Antares. Sandra yang divonis lima tahun oleh Pengadilan Negeri Kupang
mengajukan banding, namun ditolak. Sayang, hingga saat ini Sandra belum
menjalani proses pidana.
“Ini juga menjadi
pertanyaan bagi publik, karena seharusnya yang bersangkutan sudah menjalani
proses pidana. Anehnya lagi polisi mengeluarkan SP3 untuk tersangka lain,
padahal Sandra sudah mengaku di Pengadilan,” kata Paul.
Untuk diketahui, Sandra
dalam keterangannya dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Kupang,
mengaku pernah memberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang terlibat dalam
proyek tersebut. Ia menyebut, untuk panitia yang berjumlah sekitar sembilan
orang, ia menyerahkan uang senilai Rp100 juta melalui stafnya bernama Untung
Suprapto.
Uang dalam bentuk tunai
tersebut dibungkus dalam amplop. Selain itu, selama pemeriksaan barang, dirinya
juga kerap memberikan uang yang berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta
kepada panitia.
Selain aliran dana ke
panitia, Sandra membeberkan bahwa kepada bendahara ia juga sering menyerahkan
uang antara Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Dan tak lupa, Sandra juga mengaku
memberikan uang kepada pejabat penting di Dinas Kesehatan NTT senilai kurang
lebih Rp 17 juta. Kepada panitia pemeriksa, Sandra juga mengaku memberikan
uang.
Selain pihak-pihak
tersebut, Sandra Lumi juga mengungkapkan bahwa untuk biaya tim justifikasi, ia
menyerahkan uang melalui Iqbal Chandra senilai kurang lebih Rp 55 juta. Seperti
diketahui, tim justifikasi ini dibentuk Kadis Kesehatan NTT, Stef Bria Seran
yang bertugas untuk melakukan pengecekan gudang milik enam perusahaan yang
hendak mengukuti PML proyek Sarkes. Tim Jusitifikasi ini juga beranggotakan
anggota DPRD NTT, yakni Karel Yani Mboeik dan Jahidin Umar.
Dalam dakwaan, diuraikan
bahwa terdakwa Sandra Lumi adalah kuasa Direktur Firma Antares-Jakarta yang
berkedudukan di Kupang mengikuti tender pengadaan sarana kesehatan (Sarkes)
senilai Rp 15 miliar untuk 56 Puskesmas di seluruh NTT pada Dinas Kesehatan NTT
tahun anggaran 2001.
Firma Antares melaksanakan
pekerjaan tersebut setelah mendapatkan surat penunjukan langsung (PL) dari
Gubernur NTT yang sebelumnya melalui pemilihan langsung (PML).
Keluarnya surat Penunjukan
Langsung (PL) dari Gubernur NTT (alm) Piet Alexander Tallo, setelah adanya
telaahan dari Kadis Kesehatan NTT Stef Bria Seran.
Setelah mendapatkan surat
PL, Firma Antares melaksanakan pekerjaan proyek pengadaan Sarkes senilai Rp 15
miliar tersebut. Dalam dakwaan terungkap bahwa sejumlah sarana kesehatan yang
diadakan oleh Firma Antares tidak lengkap setelah dilakukan penelitian oleh tim
yang dibentuk. Selain kurang, alat-alat yang dipesan pun ada yang sama sekali
tidak ada atau tidak dibeli oleh Firma Antares sebagai pelaksana proyek.
Untuk melakukan pencairan
uang, Firma Antares dengan Dinas Kesehatan NTT melakukan “pemalsuan” dokumen
dengan melaporkan bahwa Sarkes yang dipesan sudah didatangkan semuanya, padahal
berita acara tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
Akibat perbuatan terdakwa,
negara dirugikan senilai Rp.3.832.866.290,09. Terdakwa dikenakan pasal berlapis
yakni pasal pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
telah dirubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, subsider pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah dengan UU No.
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam dakwaan kedua primer
terdakwa dijerat dengan pasal 5 ayat 1 (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang telah dirubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 64 ayat 1 ke (1) KUHP.(sam)