https://regional.kompas.com/read/2012/10/03/03151290/Gairah.dalam.Kemiskinan.NTT?page=all, Sabru, 13 Oktober 2012
Selama 10
tahun terakhir, sejak tahun 2002, telah ditemukan 151 kasus korupsi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Sekitar 545 pelaku terlibat, tapi hanya sebagian kecil
dihukum. Terkesan ada upaya saling melindungi antara pelaku koruptor dan aparat
penegak hukum sehingga kasus korupsi pun menghilang.
Sebanyak 151
kasus korupsi itu sempat dipublikasi media massa. Namun, sebagian besar
kemudian hilang tanpa bekas. Alasan yang dikemukakan kejaksaan atau kepolisian
adalah tidak ada bukti kuat tindak pidana korupsi. Itu belum termasuk kasus
korupsi yang tertutup rapi.
Pelaksana
Harian Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara
Timur (NTT) Paul SinlaEloE di Kupang, akhir Agustus lalu, mengatakan, dari 545
pelaku tadi, sebanyak 76 pelaku dua kali melakukan tindak pidana korupsi. Total
nilai kerugian negara akibat 151 kasus korupsi itu mencapai lebih dari Rp 200
miliar.
”NTT masuk
lima besar nasional korupsi. Daerah lain juga tinggi, tetapi dibanding
kesejahteraan masyarakat, NTT paling buruk, yakni urutan ke-33 dari 33
provinsi. Pejabat di sini tidak punya perasaan dan hati nurani melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme di tengah kemiskinan yang terus mendera rakyat,”
kata Sinlaeloe.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, menjelaskan,
kasus-kasus korupsi, antara lain, dana sarana kesehatan (sarkes) RSUD Johannes
Kupang (2002) senilai Rp 15 miliar, penggelembungan harga pengadaan 60 tempat
tidur di RSUD Johannes Kupang (2012) senilai Rp 85 juta per unit, perjalanan
dinas di Flores Timur sekitar Rp 10 miliar (2012), pungutan Rp 1 juta per desa
bagi 185 desa di Flores Timur untuk proposal peningkatan dana desa senilai Rp 1
miliar ke Mendagri (2012).
Dana
pendidikan luar sekolah senilai Rp 77 miliar (2007) dan pembelian traktor
tangan bagi petani senilai Rp 8 miliar (2011), serta dana bantuan operasional
DPRD provinsi dan kabupaten/ kota (periode 1999-2004) senilai Rp 16,5 miliar,
korupsi dana pendidikan di Timor Tengah Utara (TTU) Rp 13 miliar (2012), dan
pungutan dana perbaikan ruang kelas Rp 50 juta oleh anggota DPRD TTU.
Dana batuan
sosial (bansos) provinsi ataupun kabupaten/kota (2010-2011), terindikasi KKN
dengan total nilai mendekati Rp 100 miliar. Di Kabupaten Sikka, kasus bansos
yang merugikan negara sekitar Rp 19,7 miliar itu diduga melibatkan bupati
setempat Sosimus Mitang. Namun, yang diproses hukum hanya sejumlah pejabat
kecil.
Awal tahun
2011, BPK NTT menyebutkan terjadi kesalahan administrasi dalam pengelolaan dana
bansos dan meminta instansi bersangkutan memperbaiki. Namun, hingga kini,
perbaikan tidak pernah tuntas dan tidak pernah ada tindak lanjut.
”Dana itu
untuk pasang iklan dukacita, beli peti jenazah, dan karangan bunga bagi orang
mati, perjalanan dinas, carter pesawat, pembangunan lift dan plafon rumah
sakit, serta kunjungan kerja DPRD ke konstituen. Semua dilakukan tanpa kuitansi
atau proposal. Siapa yang bertanggung jawab,” kata Helan.
PIAR NTT
mencatat 151 kasus korupsi di NTT, tetapi pelaku tidak dibawa ke penjara,
kecuali mantan Bupati Ende Paulus Domi, Sekda Ende Iskandar Mberu, dan Sekda
Kota Kupang Abde Habel. Lalu korupsi pejabat pemprov tak diproses, kecuali
bawahan seperti korupsi dana sarkes (2002), dua anggota staf di dinas kesehatan
provinsi masuk penjara. Penggagas dan otak di balik itu tidak tersentuh hukum.
Jadi gaya hidup
Korupsi
menjadi gaya hidup, mulai dari ketua RT/RW (penjualan beras untuk orang miskin)
sampai pimpinan kepala daerah atau pejabat vertikal (dana APBD dan dana APBN).
Gaya hidup pejabat, termasuk keluarganya, mendadak berubah.
Sejumlah
rumah mewah bernilai Rp 300 juta-Rp 2 miliar pun bertebaran di beberapa kota,
bahkan sampai di kampung asal pejabat dan anggota keluarga. Masyarakat tahu,
tetapi memilih diam. Melapor ke aparat penegak hukum juga sama, bahkan pelapor
dijadikan tersangka.
Korupsi pun
terus menggairahkan. Pelaku selalu bebas dan aman dari proses hukum. Mereka
bersembunyi di balik kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Bahkan
kemiskinan itu diduga sengaja dirawat guna menarik dana pusat untuk dikorup.
Total daftar
isian proyek anggaran (DIPA) 2012 senilai Rp 22 triliun terdiri dari APBD,
perbantuan, dana dekonsentrasi, dan lainnya. Tahun 2011, total DIPA Rp 12
triliun dan tahun 2010 Rp 10 triliun. Jumlah dana meningkat, tetapi rakyat
tetap miskin.
Sementara
itu, dana sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) tetap jadi kebanggaan, dengan
alasan hemat anggaran. Tahun 2009 total silpa Rp 200 miliar, tahun 2010 Rp 120
miliar, dan tahun 2011 Rp 145 miliar. Dana ini diparkir di sejumlah bank di
Kupang.
Kasus
pemecatan Direktur Pemasaran Bank NTT Ibrahim Imang Juni 2012 menyisakan soal.
Imang menolak perintah lisan pemprov mengucurkan dana Rp 70 miliar kepada
seorang pengusaha dari Surabaya yang ingin membangun hotel milik pemda di
Lasiana Kupang. Dia beralasan, perintah lisan tidak memiliki dasar hukum kuat.
Kepala Penerangan
Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi NTT Jemmy Tirayudi mengaku, kejaksaan telah
bekerja maksimal memberantas korupsi. Tahun 2011, 46 korupsi ditangani
kejaksaan. Kejati menangani delapan kasus, dua kasus di antaranya sudah
diputus, yang lain dalam proses. Tahun ini, Kejati menangani enam kasus, satu
kasus sudah diputus.
”Tidak
benar, kejaksaan tidak bekerja serius menangani kasus korupsi. Sudah banyak
kasus diproses ke pengadilan,” ujar Tirayudi. (KORNELIS KEWA AMA).