KENAPA NTT TERUS SAJA "PANEN"
JENAZAH TKI DARI MALAYSIA?
KUPANG, KOMPAS.com - Jumlah Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur ( NTT), yang meninggal di Malaysia,
mengalami peningkatan dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir ini.
Berdasarkan
data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BP3TKI), Kupang, jumlah TKI yang meninggal pada tahun 2013 sebanyak 31 orang,
tahun 2014 menurun menjadi 21 orang, tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016
naik menjadi 49 orang dan tahun 2017 meningkat pesat menjadi 62 orang.
TKI
yang paling banyak meninggal di Malaysia, sebagian besar berasal dari Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) dan tidak memiliki dokumen atau TKI ilegal yang
menjadi korban perdagangan orang.
|
Paul SinlaEloE, Aktivis PIAR NTT |
Sekretaris
Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) Hermono mengatakan, dalam rentang waktu tiga bulan, Januari-Maret
2018, 18 TKI asal NTT, meninggal di Malaysia.
Menurut
Hermono, dari data statistik yang dimiliki pihaknya, jumlah TKI asal NTT yang
meninggal dari tahun ke tahun terus meningkat.
"Tahun
2018, sampai dengan saat ini sudah ada 18 orang TKI asal NTT yang meninggal.
Semuanya undocumented atau ilegal," ungkap Hermono kepada sejumlah
wartawan di Kupang, belum lama ini.
Hermono
menjelaskan, tahun 2016, sebanyak 46 orang meninggal, hanya empat orang yang
legal. Sedangkan tahun 2017, ada 62 TKI asal NTT yang meninggal dan hanya satu
orang yang legal.
"Menurut
data yang ada pada kami, ada sekitar 2,7 juta sampai dengan 3 juta TKI yang
bekerja di Malaysia. Lebih dari 50 persen TKI ini tidak memiliki dokumen resmi
atau undocumented. 92 persen permasalahan TKI di Malaysia berhubungan dengan
TKI ilegal ini," jelasnya.
Dengan
data ini, lanjut Hermono, memperlihatkan ada sesuatu yang mesti dibenahi
bersama-sama.
"Karena
itu, ke depannya harus ada komitmen bersama untuk mengatasi masalah ini,"
ujarnya.
Hukuman Adat
Sementara
itu Anggota DPRD NTT Jefry Unbanunaek meminta, pemerintah daerah di NTT segera
menerapkan hukuman adat di wilayah itu untuk mencegah warga yang nekat bekerja
ke luar negeri secara ilegal.
Hal
itu menurut Jefry, karena selama ini peraturan pemerintah pusat hingga daerah
soal perekrutan para TKI khususnya di Kabupaten TTS tidak optimal dan terus
dilanggar.
Akibatnya
kata dia, banyak warga TTS yang menjadi TKI ilegal. Bagi Jefry, hukum adat bagi
orang Timor khususnya TTS, ketika diterapkan maka akan dipatuhi dan lebih
ditaati oleh warga, karena bentuk sanksinya yang berat.
"Salah
satu contohnya kami di Timor, biasa kalau orang tua sudah memasang Banu atau
Bunuk (dedaunan yang sudah diritualkan secara adat atau sumpah adat) di pohon
pinang, jeruk atau mangga, maka tidak akan ada seorang pun warga yang berani
memetik buahnya, meski sudah masak, maupun yang jatuh di tanah karena warga
takut kena tulah atau bila kedapatan akan dikenakan sanksi berat," kata
Jefry.
Penerapan
hukum adat itu lanjut Jefry, harus ada kesepakatan antara pemerintah daerah TTS
dan lembaga adat di setiap desa sehingga bisa dijalankan sanksi adat bagi warga
yang bekerja ke luar negeri melalui jalur ilegal.
Studi Banding
Pemerintah
sebut Jefry, juga harus segera membangun balai latihan kerja bagi warga TTS
yang mau bekerja ke luar negeri, sehingga mereka bisa terampil dan berkualitas
serta bisa bekerja dengan mandiri. Dan hasil
dari balai latihan kerja itu, para calon tenaga kerja akan memeroleh
sertifikat.
"Kalau
tidak kita terapkan hukum adat, nanti kita NTT, akan terus panen jenazah TKI
dari Malaysia,"ucap Jefry kepada Kompas.com,
Sabtu (31/3/2018).
Dihubungi
secara terpisah Peneliti dari Institute of Resource Governance and Social
Change (IRGSC) Elcid Li mengatakan, pemerintah harus melakukan studi banding
dengan Timor Leste.
Timor
Leste kata dia, adalah tetangga terdekat Indonesia, tapi warganya tidak menjadi
korban perdagangan orang.
Elcid
menilai, ada kesalahan dalam mengelola negara di tingkat yang paling mendasar,
yakni dalam melindungi warga negara.
Menurut
Elcid, Timor Leste adalah negara baru, tapi mampu membuat sistem yang benar
dalam melindungi warga negaranya terhadap kasus perdagangan orang.
"Apakah
di Timor Leste mengalami hal yang sama seperti kita. Karena itu kita minta
Presiden Jokowi untuk studi banding ke Timor Leste, guna melihat bagaimana
caranya mengurus warganya, agar tidak menjadi korban perdagangan
orang,"tegas Elcid yang sudah empat tahun meneliti tentang perdagangan
orang.
Elcid
menyebut, Presiden Jokowi dan stafnya seperti Kapolri dan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, tidak mampu mendeteksi secara dini, jaringan perdagangan
orang, yang menurutnya setara dengan jaringan teroris dan perdagangan narkoba.
"Kenapa
tidak bisa temukan cara yang benar untuk mengatasi ini. Dengan maraknya kasus
perdagangan orang, kenapa presiden tidak pernah mengeluarkan pernyataan darurat
perdagangan orang,"imbuhnya.
Elcid
pun berharap, ada jalan keluar dari pemerintah untuk menghilangkan perdagangan
orang, khususnya di NTT.
Koordintor
Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Paul SinlaEloE mengatakan,
NTT merupakan 'surganya' bagi para pelaku tindak pidana perdagangan orang
karena di wilayah itu marak terjadi kasus perdagangan orang.
Menurut
Paul, sejak Januari 2017 hingga saat ini, PIAR NTT telah mengadvokasi tujuh
kasus tindak pidana perdagangan orang dengan korban sebanyak 189 orang. Dengan
rincian perempuan sebanyak 122 orang dan laki-laki sebanyak 67 orang.
"Dari
total 189 orang yang menjadi korban, 23 diantaranya adalah berusia anak. Data
korban perdagangan orang di NTT bisa lebih bombastis lagi, karena beberapa
kasus ini hanya mampu ditangani oleh PIAR NTT,"ungkapnya.
Menurut
Paul, merajalelanya perdagangan orang di NTT karena pemerintah provinsi hingga
desa, beserta jaringan terkait seperti BNP2TKI, BP3TKI, APJATI dan gugus tugas
trafficking, tidak mampu melakukan pencegahan, dengan membiarkan tetap berjalan
sistem pengelolaan ketenagakerjaan mulai dari rekrutmen tenaga kerja, pra
penempatan, penempatan, hingga purna penempatan.
Bentuk Tim
Secara
terpisah, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, pihaknya akan membentuk tim
untuk mendata tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang bekerja di Malaysia.
Menurut
Lebu Raya, pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT tidak mengetahui waktu
keberangkatan para TKI ilegal ini.
Ia
juga mengaku tidak memahami mereka kerja apa di sana. Lalu tiba-tiba disiksa
dan meninggal
"Kami
menerima peti mayat terus. Terus terang, saya merasa tidak nyaman melihat
rakyat dan anak-anak meninggal dengan cara itu. Sangat menyakitkan," kata
Lebu Raya.
Pemerintah
Provinsi NTT, lanjut Lebu Raya, telah membentuk Satuan Tugas (Satgas)
Pencegahan Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal dan Layanan Terpadu Satu
Atap (LTSA) TKI NTT.
Namun,
jumlah TKI Ilegal yang ke luar negeri, khususnya ke Malaysia, tetap tinggi.
Lebih
lanjut, Lebu Raya mengungkapkan keinginan untuk membentuk dan mengirim tim
pendataan TKI ilegal sudah bulat. Karena itu, ia memohon kiranya BNP2TKI dan Konjen
untuk memfasilitasi kegiatan ini nantinya.
"Kita
ingin mendata para TKI ilegal, namanya siapa dan asalnya dari mana. Setelah
kita data, kita tahu seberapa yang bisa diurus supaya legal dan berapa yang
bisa dibawa pulang. Saya akan mengumpulkan para bupati dan wali kota untuk
mengambil langkah-langkah dalam memulangkan atau mengurus TKI ilegal yang sudah
terdata itu," kata Lebu Raya.
Gubernur
dua periode itu juga mengharapkan agar sinergi antara berbagai pemangku
kepentingan dapat ditingkatkan.
Frans
juga mengharapkan agar Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan (BP3)TKI
NTT dapat membangun koordinasi yang intensif dengan pemerintah daerah dan
menyosialisasikan persoalan ini secara terus-menerus sampai pada tingkat desa.
"Kita harus bicara
ramai-ramai atau bersama terhadap masalah ini. Para tokoh agama dapat juga
menggunakan mimbar untuk mengingatkan hal ini. Saya sudah meminta dengan tegas
agar perusahaan yang merekrut TKI ilegal ditutup dan diberi sanksi hukum yang
tegas. Hukum seberat-seberatnya," ujar politisi PDI-P itu. (KONTRIBUTOR
KUPANG, Sigiranus Marutho
Bere)