MEMBEDAH PELAYANAN RSUD
PROF.DR. WZ JOHANNES KUPANG
SUMBER: Laporan serial Pos
Kupang edisi 3, 4 dan 5 Maret 2009 halaman 1
Hari Sabtu, 21
Februari 2009, Forum Academia NTT (FAN) menggelar diskusi bulanan "kopi
darat" (kopdar) di ruang rapat Redaksi Pos Kupang. Kopdar FAN membedah
Pelayanan RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang menghadirkan tiga nara sumber yaitu
Direktur RSU Kupang, dr. Aphonsius Anapaku, Sp.OG, Ketua YLKI NTT, Mus Malessy
dan Dr. Hyron Fernandez (FAN). Dari RSU hadir juga dr. E Frank Touw, dr. Yudith
M Kota, drg. Maria K Setyawati, Damita, Yos Here dan David Mandala. Anggota FAN
yang ikut diskusi, dr. Adhi Sanjaya, dr. Debby Veronika, Wilson Therik, Rm. Leo
Mali, Daiman, Silvester Ndaparoka, Palce Amalo, Hiro Bifel, Leo Ritan, Elcid
Li, Gusti Brewon, Volkes Dadi Lado, Paul SinlaEloE dan Sandro Dandara.
Diskusi sekitar tiga jam di akhir pekan itu luar biasa.
Luar biasa untuk para narasumber yang hadir. Luar biasa untuk keterusterangan
dan komitmen untuk berbenah. Acara "kopi darat" (kopdar) Forum
Academia NTT (FAN) menguak tabir RSUD Kupang yang selama ini tidak terungkap ke
ruang publik. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. WZ Johannes Kupang tidak
sekadar padat modal dan manusia. Di sana padat masalah.
Direktur RSUD Kupang,
dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG menghangatkan diskusi dengan kejujurannya tentang
pelayanan di rumah sakit yang belum sebulan dinakhodainya.Diberi kesempatan
bicara pertama kali oleh moderator FAN, Wilson Therik, Alphons menjelaskan dengan
runut soal manajemen.
Makalah dipersiapkan
dengan baik. Dibagi dalam lima bagian yaitu pendahuluan, gambaran keadaan
sekarang, keadaan yang diinginkan, pemecahan masalah dan penutup. Selain
makalah, Dokter Aphons juga datang dengan tim lengkap. Ini merupakan apresiasi
yang elok buat Forum Academia NTT yang menggagas diskusi.
Alphons jauh dari
kesan membela diri apalagi menutup-nutupi kenyataan. Dia menghentak dengan
mengungkap realitas RSU Kupang berkaitan dengan pemanfaatan sarana pelayanan,
mutu pelayanan dan tingkat efisiensi pelayanan. Dari sejumlah indikator untuk
mengukur tingkat keberhasilan, mutu pelayanan RSU yang berdiri di atas lahan
seluas 51.670 meter persegi itu jauh dari standar Departemen Kesehatan (Depkes)
RI.
"Dari grafik
customer satisfaction index, kepuasan pelanggan internal rumah sakit 59,07
persen dan pelanggan eksternal rumah sakit 65,6 persen. Jika dibandingkan
dengan kepuasan pasien menurut standar Depkes 90 persen, maka indeks kepuasan
yang dicapai sangat jauh dari target. Kalau masyarakat bilang mutu pelayanan
rendah, betul itu," katanya.
Hampir semua peserta
diskusi menganggukkan kepala. Dokter Alphons Anapaku telah bicara adanya. Tidak
menutupi potret RSUD Kupang. Tingkat mutu atau efisiensi pelayanan pun belum
sesuai standar. Standar angka kematian umum (gross death rate) untuk tiap-tiap
1.000 penderita keluar sebesar 30 - 40 per mil (per 1.000 penderita). Fakta di
RSUD Kupang, angkanya lebih dari 40 per mil.
Demikian pula untuk
indikator net death rate atau angka kematian lebih besar dari 48 jam setelah
dirawat untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar. Standar yang masih dapat
ditolerir Depkes kurang dari 25 per 1.000 penderita keluar. Yang terjadi di
RSUD Kupang, angkanya masih di atas 25 per 1.000 penderita. Pada tahun 2007,
angkanya bahkan mencapai 49.
Rata-rata lama
dirawat (average length of stay) RSUD Kupang sebesar 5,16 atau belum sesuai
standar Depkes yaitu 3-4 hari. "Indikator ini memberikan gambaran bahwa
mutu pelayanan RSU Kupang masih di bawah standar," katanya.
Sisi menarik adalah
frekuensi pemakaian tempat tidur (bed turn over) dari tahun ke tahun relatif
stabil antara 40 - 50 kali. "Turn over interval memenuhi angka ideal
berkisar 1-3 hari, dimana tempat tidur tidak ditempati sampai terisi berikutnya
tidak melebihi tiga 3 hari. Hal ini berarti rotasi pasien cukup tinggi sehingga
tempat tidur tidak menganggur cukup lama," demikian Alphons. Data tersebut
menjelaskan betapa rumah sakit rujukan satu-satunya di Propinsi NTT "tidak
kekurangan" pasien. Selalu ada yang masuk dan keluar. Datang dan pergi.
Bisa juga dimengerti bila pendapatan RSU Kupang tahun 2008 mencapai Rp 30
miliar lebih atau melampaui target Rp 25 miliar.
Setelah dokter
Alphons, Wilson Therik memberi kesempatan kepada Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
(YLKI) Propinsi NTT, Hj. Mus Malessy, S.H. Malessy mengungkapkan daftar keluhan
masyarakat tentang pelayanan RSUD Kupang. Sebagai "juru bicara"
konsumen, Malessy pun berkata apa adanya.
Ada tujuh poin
diungkap Malessy. Pertama, pasien harus menunggu cukup lama bila mau diperiksa
dokter apalagi dokter ahli. Kedua, pasien UGD tidak cepat ditangani, dan harus
menyelesaikan administrasi terlebih dahulu, bahkan ada pasien sampai meninggal
tidak dilayani. Ketiga, bila pasien nginap memerlukan bantuan segera, petugas
yang dipanggil enggan melayani. Keempat, para dokter dan dokter ahli bertugas
lebih dari 3 tempat sehingga perhatian bagi pasien di RSU hanya sedikit sekali.
Kelima, banyak terjadi malpraktik berupa diagnosa yang salah, sehingga
operasinya gagal, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Keenam, lingkungan
serta kamar yang kurang bersih mengakibatkan pasien tidak betah dan minta
pulang walaupun belum sembuh. Ketujuh, kurangnya air bersih dan kotornya toilet
(kamar kecil) sehingga keluarga pasien harus membawa air sendiri.
"Inilah
kenyataan yang terjadi. Pasien hanya menyaksikan pembangunan gedung mewah dan
bertingkat di RSU itu tapi pasien harus bermimpi terus, kapan pelayanan di rumah
sakit yang menjadi kebanggaan NTT ini bisa lebih baik dan memuaskan," kata
Malessy.
Ketua YLKI NTT
menegaskan, RSUD Kupang bukan tempat bagi para pejabat NTT, tokoh masyarakat
atau kalangan pengusaha berobat. Kelompok masyarakat itu -- yang secara ekonomis
mampu -- memilih berobat ke luar NTT bahkan luar negeri. "Bila kita
telusuri berapa banyak orang NTT yang berobat ke luar negeri yakni, Singapura,
Penang Malaysia, Australia maupun negara lainnya, maka kita akan terkejut
setiap bulan tidak kurang dari 75 sampai 100 orang berobat ke luar negeri. Baik
para pejabat, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa.
Walaupun berobat ke luar negeri biayanya sangat mahal, namun mereka
menginginkan pelayanan yang baik, diagnosa yang tepat, kepastian jenis penyakit
yang diderita dan memuaskan," kata Malessy.
"Sungguh
disayangkan, orang NTT yang hidup ekonominya masih pas-pasan harus mengeluarkan
uang untuk berobat ke negara lain. Ironisnya kalau pejabat pemerintah yang
berobat keluar negeri, maka ongkos yang bermiliaran rupiah harus ditanggung
oleh rakyat," tambah Malessy.
Sentilan ketua YLKI
NTT memang dapat memanaskan hati dan kuping. Tetapi suasana diskusi petang itu
tetap adem karena spirit diskusi FAN adalah demi pelayanan RSU Kupang yang
lebih baik. Bukan menunjuk hidung yang dituding bersalah dan bersorak bagi yang
merasa paling benar.
Fakta yang diungkap
YLKI melahirkan pertanyaan baru yang menggelitik. Kalau demikian adanya, apakah
RSUD Kupang serta rumah sakit milik pemerintah di berbagai daerah di NTT khusus
bagi si miskin?
"Anda tidak usah
terkejut. Standar pelayanan rumah sakit pemerintah memang untuk kelompok
masyarakat kelas bawah. Bukan kelas menengah apalagi kelas atas," kata
narasumber ketiga dari Forum Academia NTT, Dr.dr. Hyron Fernandez.
Bagaimana respons
Direktur RSU Kupang? Dokter Anapaku lagi-lagi tidak menampik litani keluhan Mus
Malessy serta penegasan Hyron Fernandez. Diskusi akhir pekan itu sungguh forum
membuka diri terhadap kritik demi sebuah perubahan. Perubahan bernama
pelayanan. Pelayanan RSU bisa diukur mulai dari soal kecil seperti cara senyum
dan sapa. Bagaimana di RSU Kupang?
Gara-gara
urusan senyum dan sapa, John Robert Powers, Lembaga Pendidikan tentang
Pengembangan Pribadi ikut disebut di ruang redaksi Pos Kupang, tempat Kopdar
FAN berlangsung 21 Februari 2009. Ada apa gerangan? Diskusi tentang rumah sakit
kok bawa-bawa nama John Robert Powers yang akrab dengan dunia modeling. Apakah
rumah sakit rujukan satu-satunya di NTT mau dibawa ke sana?
Tentu
tidak! Lembaga pengembangan kepribadian itu sempat disebut peserta diskusi
ketika alur percakapan mulai menyentuh pelayanan terhadap pasien. Direktur RSUD
Prof.Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG tidak mengingkari
bahwa senyum yang ramah, sapaan yang santun dan meneguhkan si sakit belum sepenuhnya
membumi di RSUD Kupang.
"Nilai
dasar yang melandasi pelayanan RSU Kupang adalah santun, integritas,
kebersamaan, akuntabel dan profesional. Tapi kami akui nilai dasar pelayanan
itu belum terwujud karena indeks kepuasan pelanggan masih jauh dari target
Depkes," kata Alphons.
Pesannya
jelas. Ada masalah pelik. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN)
merumuskan masalah yang dihadapi RSUD Kupang sebagai berikut. Padat modal,
padat karya, padat teknologi, padat manusia (SDM), dan padat masalah.
Modal
bagi RSUD Kupang memadai. Setiap tahun anggaran, lembaga itu memperoleh alokasi
dana kesehatan dari APBD NTT berkisar antara 76-78 persen. Menurut Dokter
Alphons Anapaku, fasilitas pelayanan rumah sakit tipe B itu tidak buruk. Di
sana ada Instalasi Rawat Inap, Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi
Bedah Sentral, Instalasi ICU, ICCU, HCU, NICU dan Hemodialisa, Instalasi
Farmasi, Patologi Anatomi, Radiologi, Gizi dan Instalasi Pemulasaran Jenasah.
"Beberapa alat canggih pun segera dioperasikan seperti CT-Scan, Mamografi
dan Endoskopi," kata Alphons.
Dari
sisi sumber daya manusia (SDM), jumlah mitra kerja direktur cukup
mencengangkan. Latar belakang pendidikan mereka mulai dari tingkat SD hingga
S3. Dalam diskusi 21 Februari lalu, Dokter Alphons Anapaku menyebut angka 1.050
orang yang berkarya di RSU Kupang. Rumah sakit itu "berkekuatan" 95
tenaga dokter yang terdiri dari Dokter Spesialis 36 orang, Dokter S2 Kesehatan
Masyarakat 5 orang, Dokter Umum 49 orang dan 5 orang Dokter Gigi. Para dokter
itu didukung ratusan tenaga perempuan dan laki-laki dengan keahlian
masing-masing sesuai kebutuhan manajemen rumah sakit tipe B.
Mengelola
"ribuan kepala" tentu bukan perkara gampang. Maka tepatlah pernyataan
Dokter Hyron Fernandez, padat manusia, padat masalah. Menurut Dokter Alphons,
rumah sakit itu masih butuh dokter spesialis karena jumlahnya belum memadai
pada spesialisasi tertentu, misalnya anestesi.
Sampai
di sini ada kisah menarik. Ternyata ada dokter spesialis yang naik bemo (sapaan
untuk mobil angkutan kota di Kupang, Red) dan tinggal di kamar kos. Bayangkan
mobilitas dokter spesialis melayani pasien kalau mengandalkan bemo? Sebagai
spesialis mereka berhak mendapatkan kendaraan operasional dari pemerintah
daerah. Tidak perlu mewah. Yang utama nyaman dan aman.
Manajemen
RSUD Kupang pernah meminta dana untuk kendaraan operasional kepada DPRD NTT.
Dalam rapat anggaran, permintaan itu ditolak para wakil rakyat yang terhormat.
Ada anggota DPRD berkata demikian, "Kami anggota Dewan saja naik bemo
kok."
Oh.....alasan
apa ini? Kepentingan dokter dan Dewan berbeda bung! Dokter butuh kendaraan
operasional guna memudahkan pelayanan. Lima menit itu penting bagi orang sakit.
Kalau anggota DPRD yang segar bugar terlambat lima menit bahkan berkali-kali
mangkir dari sidang Dewan tidak berakibat sampai dengan kematian. Terlambat
lima menit bagi yang sekarat bisa fatal.
Masuk
akal kalau banyak kabar tentang dokter spesialis hengkang dari beranda
Flobamora. Mengertilah kita kalau hampir seluruh kabupaten/kota di NTT
berteriak ketiadaan dokter ahli. Salah siapa? Muncul pertanyaan kecil, seberapa
besar batas kewenangan seorang direktur rumah sakit milik pemerintah daerah. Di
era otonomi daerah, mereka malah kelihatan tak berdaya. Siapa sesungguhnya yang
kuat kuasa di belakang layar?
Anggota
FAN, Silvester Ndaparoka membagi pengalamannya. Dia pernah tinggal bersebelahan
kamar kos dengan dokter spesialis bedah yang bertugas di RSUD Kupang. Dokter
itu tidak diberi kendaraan yang menjadi haknya. "Bagaimana mau bertahan kalau
hak-hak mereka tidak diperhatikan?" kata salah seorang peserta diskusi.
Dokter Alphons Anapaku, dr. Yudith M Kota dan drg. Maria K Setyawati
mengangguk-anggukkan kepala. Tanda setuju.
Sebenarnya
masih ada perkara lain berkenaan dengan komitmen pelayanan dokter spesialis di
RSUD Kupang. Namun, dalam diskusi FAN 21 Februari 2009, berkali-kali terdengar
pernyataan off the record. Dan, itu mutlak dipatuhi pers. Belum waktunya
diungkap untuk publik. Mungkin pada kesempatan lain.
Cukup
menarik pernyataan Ketua YLKI NTT, Mus Malessy. "Dokter kan manusia, bukan
Superman yang tidak pernah lelah. Undang-undang membolehkan dokter dapat
membuka praktik maksimum tiga tempat, tapi apakah mereka dapat mengukur
kemampuan dirinya?" kata Malessy.
Dalam
diskusi yang sangat terbuka itu, Alphons Anapaku juga menyinggung kasus Yakobus
Anunut yang menggendong jenazah putrinya, Limsa Setiana Katarina Anunut (2,5
tahun) dari RSU menuju rumahnya di Kelurahan Oesapa Selatan, Kamis dinihari, 12
Februari 2009. Anunut memilih jalan kaki karena tak punya uang Rp 300 ribu
untuk menyewa mobil ambulans rumah sakit.
Menurut
Dokter Alphons, yang menawarkan jasa mobil ambulans seharga Rp 300 ribu kepada
Yakobus Anunut bukan karyawan IPJ RSUD Kupang, melainkan calo. "Ada calo
di RSU. Dia menawari ongkos ambulans Rp 300 ribu dan ongkos taksi Rp 400 ribu.
Kasus percaloan seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka memanfaatkan
keadaan. Untuk pasien dari keluarga miskin seperti Yakobus, tidak ada biaya
mengantar jenazah sampai ke rumah. Mungkin dibilang kami bela diri, tapi
kenyataan memang seperti itu," tegas Dokter Alphons.
Kawasan
rumah sakit mestinya area paling netral. Nyaman dan aman. Ternyata jebol sisi
keamanannya. Calo berkeliaran. Mereka memangsa sesama yang letih, panik dan
cemas. Memangsa saudara sendiri yang berlinang air mata. Keterlaluan! Rumah
sakit pemerintah tak sekadar poor quality for poor people. Siapa yang masih
menganggap ini bukan prahara?
Tentang kondisi rumah
sakit pemerintah saat ini, Dr. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN)
melukiskan dengan sangat elok dalam Kopdar FAN, 21 Februari 2009. Rumah sakit
ibarat kapal pengangkut limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Menurut
Hyron, rumah sakit pemerintah melayani konsumen (masyarakat) dengan karakter
B3, Berangasan, Bayar kurang tetapi Berani nuntut. Penumpang kapal itu adalah
mereka yang mudah naik darah, gemar berkelahi, ganas serta kasar. Kendati bayar
kurang, mereka berani menuntut pelayanan terbaik.
Kapal
bernama rumah sakit pemerintah juga memiliki crew (karyawan) yang berangasan,
saling menyerang dan merasa paling pintar. Jadi, betapa beratnya tugas direktur
selaku nakhoda. Apalagi dia harus piawai menghadapi kesulitan bahan bakar,
arus, gelombang, ranjau serta bom waktu yang dapat meledakkan kapal dalam
pelayaran menuju dermaga tujuan.
Bom
waktu, kata Hyron, berupa kesejahteraan, kesenjangan dan inkoordinasi. Bukan
cuma sekali karyawan RSU pemerintah di NTT menggelar demonstrasi terkait
kesejahteraan. Kenyataan ini tentu terjadi di RSUD Kupang. Bila tidak direspons
dengan serius, bom waktu itu bisa meledak kapan saja dan korbannya adalah
pelayanan terhadap pasien.
Kapal
itu menghadapi arus yaitu globalisasi, reformasi dan krisis. Arus itu tidak
mungkin dihindari. Selain arus kencang, kapal rumah sakit yang mengangkut B3
itu menghadapi tiga gelombang besar, yakni Tuntutan Mutu Pelayanan, Tuntutan
Moralitas Provider dan Tuntutan Fasilitas. Sementara bahan bakar yang
dibutuhkan kapal mahal harganya dan selalu kurang.
Kapal
rumah sakit harus hati-hati berkelit agar terhindar dari ranjau. Ranjau yang
siap menelannya hadir lewat peraturan, kontrol dari lembaga swadaya masyarakat
(LSM), pers, implementasi UU Perlindungan Konsumen, UU Praktik Kedokteran dan
keberadaan para pesaing.
Mengenai
peraturan, Hyron menyebut kurang lebih 40 aturan yang membelenggu RS pemerintah
di Indonesia. Pengelola rumah sakit mengalami kebingungan apakah sebagai
lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan atau sebagai lembaga pelayanan
kesehatan yang tidak perlu birokratis. Otonomi RS sangat sedikit.
Sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001, pengelolaan RS
diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda). Menurut Peraturan Pemerintah (PP)
No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Kerja Daerah, RSUD adalah
Lembaga Teknis Daerah. Maka penempatan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit
ditentukan kepala wilayah (gubernur, bupati/walikota). Syukur kalau penempatan
SDM sesuai prinsip manajemen, the right person on the right
place. Tidak sedikit kasus seseorang ditempatkan pada posisi yang
keliru alias tidak kompeten. Meski demikian, direktur tak berdaya menolak. Mana
mungkin direktur yang diangkat gubernur atau bupati berani melawan?
Kewenangan
RS terhadap anggaran juga terbatas. Keputusan tidak selalu berada di tangan
direktur atau wakil direktur. Anggaran punya mekanisme sendiri dan harus
dipatuhi. Tragis betul manajemen RS pemerintah. Dia disuruh lari (untuk memberi
pelayanan terbaik), tetapi kaki dan tangan diikat oleh beragam aturan dan
mekanisme birokrasi yang berbelit.
Kalau
demikian kenyataannya, ke mana arah kapal RSUD Kupang? Bagaimana sebaiknya
membawa kapal itu ke pelabuhan tujuan? Direktur RSUD Prof. Dr. WZ Johannes
Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG ternyata sudah punya resep pembenahan
untuk memperbaiki mutu pelayanan.
"Ada
beberapa Critical Success Factors (CSF) yang menjadi perhatian dan komitmen
yaitu RS dikelola secara PPK-BLU, penataan tata kelola, SDM yang profesional,
produktif dan berkomitmen, mampu melakukan networking, mampu melakukan program
menjaga mutu dan ada political will serta dukungan pemerintah pusat dan
daerah," kata Alphons.
Apa
itu BLU atau Badan Layanan Umum? Menurut Alphons, BLU adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang jasa dan atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan keuntungan dan dalam kegiatannya berdasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas. "Ciri utama tetap pemerintah, fungsi publik
tetap melindungi si miskin melalui subsidi, RS mempunyai kewenangan penuh untuk
menangkap potensi pasar, otonom untuk mekanisme pemberian insentif bagi para
dokter spesialis dan investasi tidak hanya tergantung pada pemerintah,"
katanya.
Ketentuan
tentang BLU tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. "Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa." (Pasal 68 ayat 1). "Kekayaan
Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta
dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan
Layanan Umum yang bersangkutan" (Pasal 68 ayat 2). Aturan terkait
adalah PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.
Dokter
Hyron Fernandez sependapat dengan pandangan Alphons. Menurut dia, pencapaian
visi RSUD Kupang bisa digapai jika didukung perubahan mindset dan perubahan
kebijakan RS Daerah menjadi BLU. Rekayasa budaya organisasi diperlukan guna
mengubah mindset sikap mental yang mapan. Mindset bisnis dan pemasaran pun
mutlak disegarkan lagi mengacu pada paradigma kepuasan pelanggan, paradigma SDM
dan peningkatan mutu.
Ubah
mindset itu menyentuh pertanyaan ini, apakah direktur RS pemerintah di NTT
mesti selalu dan selamanya seorang dokter? Dalam diskusi 21 Februari lalu,
anggota FAN, dr. Debby Veronika membagi pengalamannya melihat manajemen RS di
negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Di sana, direktur RS bukan seorang
dokter, tetapi manajer profesional. Dokter tetap pada profesinya. Dokter tidak
patut dipusingkan menjadi nakhoda kapal bermuatan B3.
Menurut
Dokter Alphons dan Hyron, dengan menjadi BLU, pengelolaan RS pemerintah akan
berubah dari sistem yang birokratis dan inefisien menjadi lembaga yang mandiri,
fleksibel, cepat mengambil keputusan, mutu pelayanan sesuai harapan klien,
kepuasan pasien menjadi fokus perhatian SDM setiap unit pelayanan, terjangkau
oleh setiap orang, efisien dan mampu bersaing.
Dalam
hal pengembangan SDM, RS pemerintah menerapkan penilaian berbasis kinerja atau
Key Perfomance Indicators (KPI). "Remunerasi akan dikaitkan dengan
kinerja," kata Alphons Anapaku. Sesungguhnya Depkes telah mengembangkan
KPI sejak 2004. Pelaksanaan di NTT? Kelihatan masih samar-samar.
Tekad
menjadikan RSUD Kupang sebagai BLU bukan isu baru. Dalam artikel berjudul Badan
Layanan Umum dan Masa Depan RSU Kupang (Pos Kupang, 29 Januari 2009 halaman
14), Hyron Fernandez menulis, bertolak dari semangat meningkatkan kualitas
pelayanan, sejak bulan Desember 2006 manajemen RSU Dr. WZ Johannes dengan kerja
keras semua unsur internal rumah sakit dan dana untuk dukungan teknis dari GTZ
Siskes NTT dan dana APBN serta APBD Propinsi mendekati Rp 1 miliar, telah
dilakukan persiapan semua syarat teknis maupun administratif menjadi BLU.
Termasuk kaji banding ke sejumlah RS yang telah melaksanakan BLU, baik di Bali
maupun di Jawa, baik oleh internal RS maupun pemangku kepentingan di luar RS,
termasuk legislatif.
Semua
dokumen telah siap dan diserahkan kepada Pemda Propinsi sebagai pemilik (RSU
Kupang) sejak semester kedua tahun 2007. Berbagai advokasi telah pula
dilakukan, baik oleh konsultan dalam persiapan berbagai dokumen maupun dengan
mendatangkan unsur manajemen RSU pemerintah dari tempat lain yang telah
melaksanakan PPK-BLU RS. Birokrasi kita seolah tetap bergeming.
Jadi
tahu siapa yang tidak peduli. Proposal BLU itu sudah dua tahun usianya. Entah
mengendap di mana sekarang. Bola panas ada di tangan pengambil kebijakan
tertinggi di daerah ini, bukan di tangan seorang direktur.
Dalam berbagai kesempatan,
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya selalu mengingatkan kita lewat kata-katanya
yang bijak. Untuk NTT yang lebih baik dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas dan
kerja tuntas. Tidak bisa tidak! Lalu bagaimana dengan nasib RSUD Kupang? (Dion DB Putra)