PEREKRUT YUFRINDA
SELAN DIVONIS BEBAS, DIANA AMAN DIVONIS 9 TAHUN PENJARA
https://www.victorynews.id/perekrut-yufrinda-selan-divonis-bebas-diana-aman-divonis-9-tahun-penjara/,
Rabu, 31 Mei 2017
Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Kupang, NTT menjatuhkan vonis bebas kepada Benediktus
Sani Bani, terdakwa kasus human trafficking dengan korban Yufrinda Selan
(almarhumah). Sebelumnya, jaksa menuntut Benediktus dengan hukuman delapan
tahun penjara karena terlibat dalam perekrutan dan pengiriman TKW Yulfrinda ke
Malaysia. Vonis hakim tersebut dibacakan dalam sidang di PN Kupang, Selasa
(30/5).
Sidang
dipimpin Ketua Majelis Hakim Nurul Hisa didampingi anggota majelis hakim
Gransiska Nino dan Jimi Tanjung. Selain tim JPU, hadir juga terdakwa bersama
tim penasehat hukum terdakwa, Samuel Haning, Marthen Dillak, dan Amos Lafu.
Samuel kepada VN usai sidang tersebut,
mengatakan, kliennya dibebaskan dari dakwaan jaksa yang sebelumnya menyatakan
terdakwa Benediktus berperan antara lain menerbitkan paspor untuk korban
Yufrinda Selan. Putusan hakim tersebut berdasarkan bukti dan fakta-fakta
persidangan berupa keterangan para saksi.
Ia menjelaskan majelis hakim dalam putusannya
menyatakan terdakwa Benediktus Bani tak terlibat merekrut, mengangkut,
menampung, dan atau mengirim Yufrinda Selan sebagai TKW ke Malaysia.
“Dengan kata lain, terdakwa tidak terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam eksploitasi atau perdagangan orang
sebagaimana didakwakan JPU,” katanya.
Menurutnya dakwaan pertama dan dakwaan kedua
JPU dinyatakan tidak terbukti. Tuntutan JPU menggunakan UU Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan diancam dengan
hukuman penjara selama delapan tahun.
Ia mengatakan putusan hakim tersebut sejalan
dengan pledoi atau pembelaan yang disampaikan Tim Penasehat Hukum terdakwa
dalam sidang sebelumnya, yang intinya meminta hakim membebaskan terdakwa
Benediktus.
“Dengan keputusan ini, maka terdakwa
Benediktus yang selama ini ditahan di Rutan Penfui harus dibebaskan,” katanya.
Sementara itu, dalam perkara yang sama,
majelis hakim menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara untuk terdakwa Diana
Aman. Putusan ini dibacakan dalam sidang kemarin, tanpa dihadiri Diana Aman
(sidang in absentia). Putusan hakim untuk Diana Aman itu, lebih berat satu
tahun dari tuntutan JPU yang meminta hakim menghukum terdakwa Diana Aman dengan
hukuman penjara selama delapan tahun.
Sama dengan sidang putusan kemarin, sidang
pembacaan tuntutan JPU beberapa waktu lalu, juga dilaksanakan secara in
absentia. Diana Aman kabur dari Kupang setelah hakim mengalihkan status tahanan
di Rutan menjadi tahanan kota. Kasus pengalihan status tahanan Diana Aman itu,
serta kaburnya Diana Aman, menjadi sorotan berbagai elemen anti-trafficking di
Kupang.
Setelah terus disoroti, hakim kembali
menerbitkan surat perintah penahanan dan meminta jaksa mencari dan menghadirkan
Diana Aman dalam persidangan. Namun, sampai sidang putusan kemarin, Diana Aman
belum juga ditemukan sehingga sidang dilaksanakan secara in absentia.
Aktifis anti-trafficking dari PIAR NTT Paul
Sinlaeloe menilai ada yang tidak beres dengan putusan hakim tersebut.
Ketidakberesan itu, kata Paul, juga sudah terlihat selama proses sidang, sejak
hakim “membebaskan” terdakwa Diana Aman dengan alasan mengalami gangguan jiwa.
Proses sidang kasus trafficking dengan korban Yufrinda Selan, kata dia, memberi
sinyal kuat bahwa hakim tidak serius dalam upaya bersama memberantas kejahatan
trafficking di NTT.
“Itu jelas terlihat. Kalau serius, Diana Aman
tidak mungkin kabur dan bisa menjalani hukuman. Juta tidak mungkin ada yang
bebas begitu,” ujar penulis buku “Tindak Pidana Perdagangan Orang” (2017) ini.
Ia menegaskan NTT sudah dalam keadaan darurat
trafficking, namun jajaran penegak hukum belum satu langkah dalam langkah
pemberantasan melalui proses penegakan hukum. Untuk diketahui, dalam kasus
trafficking yang disidangkan tersebut yang menjadi korban adalah Yufrinda
Selan, warga TTS. Korban dipulangkan ke NTT dalam keadaan sudah meninggal
dunia, dengan tubuh penuh jahitan. Korban dikirim sebagai TKW ke Malaysia
secara ilegal.
Proses hukum kasus ini mendapat sorotan tajam
dari Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang dan Aliansi Menolak
Perdangan Orang (Ampera). Koordinator Ampera Pdt
Emmy Sahertian dalam jumpa pers di kantor IRGSC di Kupang, pekan lalu, juga
menilai hakim tidak serius menegakkan hukum dalam upaya bersama memberantas
trafficking di NTT.